Blogger Widgets

makalah ilmu huduri

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Tradisi filsafat Islam yang tidak meninggalkan warisan berbentuk epistemologi, membawa dampak eksistensi epistemologi Islam selalu dipertanyakan. Apakah epistemologi Islam ada atau tidak ada. Jawaban atas pertanyaan ini, masih terdapat silang pendapat diantara para pakar. Disatu pihak menyatakan dengan tegas epistemologi Islam tidak ada, sebab ilmu itu sifatnya netral, tidak memihak salah satu agama. Sedangkan dipihak lain berpendapat, epistemologi Islam ada, paling tidak dalam tahap pencarian bentuknya. Sehingga dengan lahirnya teori Ilmu Hudhuri yang pertama kali diuraikan dalam filsafat pencerahan (al-Hikamh al-Isyraqiyyah) melalui pemikiran Syihabuddin Suhrawardi adalah merupakan jawaban dari keraguan akan eksistensi epistemologi Islam yang selama ini sedang dipertanyakan, dan sekaligus merupakan petunjuk yang dapat dijadikan pedoman untuk menguak misteri epistemologi Islam yang selama ini masih dalam proses mencari-cari bentuknya.
Ilmu Hudhuri merupakan sebuah bentuk riil dari epistemologi Islam yang mendasarkan sebuah pengetahuan diperoleh dengan kehadiran (al-Ilmu al-Hudhuri) yang mempunyai cara kerja berbeda dengan pengetahuan melalui konsep atau konseptualisasi (al-Ilmu al-Hushuli). Berdasarkan teori ini para filosof Islam yang mencoba mengkritisi filosof-filosof yang mengembangkan epistemologi mereka seperti Kant, Russel, Wittgenstein, dan lain-lain, tanpa kesadaran akan realitas makna “pengetahuan dengan kehadiran” atau yang biasa dikenal dengan Ilmu Hudhuri, karna menurut mereka (filosof Islam) manusia pada hakikatnya memiliki kesadaran atau pengetahuan yang tidak diperoleh lewat representasi atau data indra melainkan melalui pikiran yang mengetahui sesuatu tanpa representasi (data indrawi).[1]
Oleh karena itu dalam kajian ini kami akan menelti dan mengklarifikasi ilmu huduri dan objeknya.
B.     RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah:
a.       Pengertian ilmu huduri
b.      Objek ilmu huduri
c.       Metodologi ilmu huduri
d.      Manfaat ilmu huduri

C.    TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah yang menjadi titik pokok pembahasan, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Memahami definisi ilmu huduri
b.      Memahami objek ilmu huduri
c.       Memahami metodologi ilmu huduri
d.      Memahami manfaat/kegunaan ilmu huduri











BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ILMU HUDURI
Dalam Ensiklopedia Islam: Ilmu huduri adalah ilmu batiniah atau ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah SWT melalui ilham, iluminasi, inspirasi dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Ilmu huduri bukan merupakan hasil pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dari karunia Allah SWT.
Adanya ilmu huduri dibenarkan oleh al-Qur’an seperti disebut dalam surat al-Kahfi ayat 65”Dan telah Kami ajarkan (kepada Khidir) ilmu dari Kami”. Pada ayat 60 dampai ayat 82 surat itu diceritakan tentang ilmu huduri yang dimiliki Nabi Khidir. Nabi Khidir melubangi perahu, dan Nabi Musa tidak mengerti alasannya; Nabi Khidir membunuh seorang pemuda, dan Nabi Musa tidak paham alasannya, alasannya ialah karena Nabi Khidir telah mengetahui apa-apa yang belum terjadi mengenai ketiga episode itu. Musa tidak mengetahuinya. Dalam contoh ini Nabi Khidir memperoleh ilu huduri tentang itu sedangkan Nabi Musa tidak.
Kisah diatas dapat dijadikan dalil tentang adanya ilmu huduri. Dari kisah itu diketahui bahwa ilmu huduri diberikan kepada nabi, dalam hal ini Nabi Khidir. Dalam surat jin ayat 26-27 dikatakan Dia-lah Tuhan yang mengetahui yang gaib, dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu kecualai kepada Rasul yang diridhai-Nya. Jadi menurut ayat ini pengetahuan tentang yang gaib hanya diberikan Tuhan kepada Nab yang dikehendakinya.
Namun sekalipun demikian ilmu huduri dapat juga dimiliki oleh orang selain nabi dan rasul dengan syarat orang itu telah mencapai maqam itu. Berdasarkan sejarah ternyata ada orang (bukan nabi dan rasul) mampu mencapai maqam itu dan ia memiliki ilmu huduri.[2]


B.     OBJEK ILMU HUDURI
Mehdi Ha'iri Yazdi mengatakan bahwa makrifat (al-ma'rifah) adalah sejenis pengetahuan melalui kehadiran, atau lebih populer disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence). Oleh karena itu mungkin bermanfaat untuk mengenal apa yang dimaksud dengan ilmu hudhuri, sambil mengontraskannya dengan ilmu hushuli (knowledge by correspodence).
Ilmu hushuli adalah ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari objek yang ada di luar kita secara objektif. Misalnya pengetahuan tentang meja dan gelas yang ada di atasnya. Menurut ahli ilmu hudhuri, sebuah benda yang ada di hadapan kita, selalu memiliki dua macam objek. Objek subjektif yang ada atau hadir dalam diri (pikiran) kita, dan objek objektif yang ada di luar diri kita. Objek yang di luar diri kita disebut bentuk (shurah), sedangkan objek yang ada di dalam diri kita disebut makna. Ilmu hushuli dimungkinkan tapi tanpa jaminan kebenaran. Ia dicapai oleh manusia berdasarkan pada "keserupaan" atau "korespondensi" antara bentuk dan makna. Kalau korespondensi ini berkorelasi positif, maka pengetahaun dikatakan benar, kalau negatif maka dikatakan salah atau keliru.
Berbeda dengan midus ilmu hushuli, ilmu hudhuri pada umumnya berhubungan dengan makna atau objek subjektif yang sudah "dihadirkan" dalam diri kita. Ia bukan tentang objek objektif yang berada di luar diri kita, sehingga objek ini disebut absen atau tidak hadir dalam diri kita dan tidak bisa kenal secara langsung atau intuitif. Sebaliknya ilmu hudhuri selalu menangkap objeknya secara langsung, karena ia telah "hadir" dalam diri kita. Dan justru karena ia telah hadir dalam diri kita, maka kita mengetahui objek tersebut seperti kita mengetahui diri kita sendiri. Dari sinilah muncul konsep self-knowledge, pengetahuan tentang diri sendiri. Dalam pengetahun diri, karena subjek dan objek adalah sama, maka jurang yang biasanya menganga antara subjek dan objekpun telah terjembatani. Maka terjadilah identitas (kesamaan) antara subjek dan objek. Pengetahuan diri sedemikian langsungnya, karena tanpa simbol apapun, sehingga kebenarannya pasti terjamin, karena di sini knowing (mengetahui) adalah sama dengan ada (being), ringkasnya "knowing is being," di mana pengetahuan telah menjadi wujud itu sendiri.[3]
Pengetahuan tentang diri sendiri (self-knowledge), termasuk di dalamnya objek-objek subjektif yang telah dihadirkan dalam diri kita, memiliki beberapa keistimewaan tertentu di antaranya: pertama, berbeda dengan pengetahuan hushuli yang objeknya berada di luar (ghaib, tidak hadir) dalam diri seseorang dan karena itu tidak memiliki kaitan langsung dengannya, pengetahuan melalui kehadiran bisa mengetahui objek-objeknya secara langsung, sehingga memiliki tingkat kepastian yang sangat tinggi. Tingkat kepastian seperti ini tidak bisa dicapai oleh ilmu hushuli karena adanya jurang yang dalam antara subjek dan objeknya, sehingga keraguan selalu bisa timbul di dalamnya.
Kedua, adalah bahwa dia memiliki prioritas absolut terhadap jenis pengetahuan manusia lainnya. Syaikh Isyraqi, Suhrawardi mengatakan bahwa dalam perjalanan pengetahuan manusia, seseorang haruslah pertama melakukan penyelidikan terhadap kesadaran akan dirinya sendiri ('ilmi bidzatihi). Barulah dari tahap ini ia bergerak menuju apa yang ada "di atas" atau "di seberang" dirinya sendiri. Pengetahuan tentang diri sendiri bukanlah pengetahuan yang diperoleh melalui representasi (bishurah), tetapi pengetahaun melalui makna (bima'na) yang mendahului pengetahuan representatif. Setiap representasi yang terjadi pada pikiran orang yang mengetahui, pada kenyataannya merupakan sesuatu tambahan kepada realitas ini, dan dibandingkan dengan realitas itu sendiri justru ia bertindak sebagai "dia" (huwa) bukan "aku" (ana).[4]
Selain dua keistimewaan di atas, ilmu hudhuri juga mempunyai keistimewaan yang lain. Sementara ilmu hushuli hanya bisa mengetahui hal-hal yang bersifat eksternal, khususnya yang bersifat empiris, ilmu hudhuri bisa juga mengetahui hal-hal yang non-empiris. Seperti telah disinggung, dalam ilmu hudhuri dikenal dua macam objek, objek objektif (transitive object) yang berada di luar diri kita dan objek subjektif (immanent object) yang hadir dalam diri kita. Dalam ilmu hudhuri, yang juga sering disebut pengetahuan fenomenal, objek-objek transitif atau objektif bersifat aksidental, sedangkan objek immanen atau subjektif bersifat niscaya dan instrinsik. Yang pertama dihubungkan melalui korespondensi, sedangkan yang terakhir dihubungkan melalui identitas.
Karena sifatnya yang aksidental maka objek-objek transitif (objektif) tidak mempunyai hak istimewa sebagai satu- satunya objek yang mungkin dapat diketahui oleh manusia. Mulla Shadra dalam sistem filsafatnya, memperluas objek-objek subjektif yang esential dari semata-mata kesan inderawi, sebagai objek pengalaman inderawi, kepada objek-objek ma'quli (intelligible) yang bersifat transenden. Di sini perbedaan antara objek-objek esensial dan aksidental, justru terutama dirancang untuk diterapkan pada semua jenis tindakan epistemik, baik yang bersifat empiris maupun yang transenden, yakni objek-objek ma'quli. Objek-objek ini merupakan objek-objek aktual dari pikiran kita, karena, menurut Mulla shadra, objek-objek inilah yang betul-betul terbebas dari materi dan esensial untuk diketahui oleh tindakan intelektual.[5]
Pengertian Obyek Esensial (Imanen)
Apabila dalam pemahaman Aristotelian tentang intensionalitas terdapat pembenaran untuk membedakan dua jenis perbuatan manusia, yaitu ‘perbuatan imanen’ dan ‘perbuatan transitif’, maka tampaknya tak ada yang menghambat kita untuk mengambil garis yang sama dengan membedakan dua jenis obyek yang sebanding, yaitu “obyek esensial atau obyek imanen” dan “obyek aksidental atau obyek transitif”.
Distingsi ini tidak dilandaskan pada penyamaan dan sewenang-wenang atas penjabaran Aristotelian yang termasyhur mengenai dua perbuatan dan aksi yang berbeda tersebut dengan distingsi sementara kami antara dua sistem obyektivitas. Kami memahami secara prima facie, bahwa identifikasi yang tak layak seperti ini tidak bisa diterima, karena suatu perbuatan dan tindakan, yang imanen maupun yang transitif, tidak pernah dapat diaplikasikan dan diterapkan kepada obyek-obyek tindakan tersebut. Walaupun demikian, adalah niscaya bahwa suatu tindakan imanen seperti halnya pengetahuan da makrifat kita, bisa dianalisis secara sangat logis menjadi subek yang mengetahui dan obyek yang diketahui (ma’lum). Dengan demikian, anatomi obyek yang diketahui pada gilirannya bisa dianalisis menjadi obyek internal dan obyek eksternal. Manakala analisis kita sampai pada tahap ini, tanpa keraguan sedikitpun, kita boleh merasa berhak untuk mencirikan dengan sah obyek internal sebagai obyek imanen dan obyek eksternal sebagai obyek transitif.
Beralih pada analisis konsep pengetahuan itu sendiri, di antara berbagai distingsi yang sejauh ini telah dibuat berhubungan dengan konsep tentang pengetahuan manusia, distingsi dan perbedaan antara “subyek” dan “obyek” adalah  yang paling luas diterima. Dengan adanya anteseden ini, salah satu konsekuensi logisnya adalah perkembangan distingsi lain yang telah dilakukan oleh beberapa filosof antara “obyek subyektif” dan “obyek transitif” atau dalam terminologi kita, antara “obyek imanen” dan “obyek transitif”. Pembahasan ini akan menaruh perhatian pada distingsi yang disebutkan belakangan. Mereka yang tak akrab dengan spekulasi filosofis, mungkin akan cenderung mengesampingkan pembedaan seperti ini, namun perenungan tentang konsep pengetahuan itu sendiri menegaskan bahwa harus ada suatu obyek imanen, yang berbeda dari obyek transitif.
Dalam analisis tentang teori pengetahuan, istilah “subyek” berarti pikiran yang melaksanakan tindak pengetahuan melalui mengetahui sesuatu, sebagaimana halnya istilah “obyek” mengacu kepada benda atau proposisi yang diketahui oleh subyek tersebut, Akan tetapi, karena dalam sebuah proposisi yang diketahui selalu ada sesuatu yang terlibat, baik yang khusus maupun yang universal, maka konsekuensinya adalah benar jika dikatakan bahwa obyek pengetahuan selamanya adalah apa yang kita sebut hal yang diketahui. Dinyatakan juga bahwa karena hubungan yang disebut “mengetahui” terbentuk oleh pikiran sebagai subyek yang diasosiasikan dengan sesuatu sebagai obyek, yang kedua-duanya terjalin bersama menjadi suatu kompleks yang utuh, maka subyek dan obyek juga mesti disebut bagian-bagian dari kesatuan pengetahuan. Istilah “subyek” dan “obyek” adalah dua esensialitas dari kesatuan pengetahuan.
Karena pada esensinya bersifat intensional, maka tidak mengetahui senantiasa dimotivasi, ditentukan, dan dibentuk oleh obyeknya. Karenanya obyek memiliki saham, bersama subyek, dalam penyusunan dan penentuan tindak mengetahui, namun berbeda dari subyek karena memiliki peran yang unik dalam memotivasi tindak mengetahui. Karenanya, sementara ciri utama obyek adalah memotivasi tindakan subyek, sebaliknya subyek tak bisa mengambil bagian dalam prosedur memotivasi tindakan intensionalnya sendiri, dengan alasan sederhana bahwa orang yang selalu hadir bagi dirinya sendiri tidak mungkin menjadi obyek bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, pikiran dirancang untuk berfungsi sebagai kausa efisien bagi tindak intensional mengetahui sesuatu, dan obyek berfungsi sebagai kausa final untuk bagi pelaksanaan tindakan itu. Kausa efisien (al-‘illah al-fa’ili) tidak dianggap mutlak identik dengan kausa final (al-‘illah al-ghayi) dalam sistem kausalitas Aristotelian. Dengan demikian, suatu subyek tidak mungkin identik dengan obyeknya.
Dengan meletakkan hubungan subyek-obyek dalam konteks sistem kausalitas Aristotelian, lebih lanjut bisa disimpulkan adanya distingsi khas lain antara subyek yang mengetahui sebagai kausa efisien dan sesuatu yang diketahui sebagai kausa final bagi tindak pengetahuan. Sementara kausa efisien didefinisikan sebagai agen yang bertindak, artinya yang melahirkan tindak mengetahui, maka kausa final berfungsi dengan dua cara berbeda tergantung pada eksistensi eksternal dan internalnya. Eksistensi eksternal obyek, karena secara prima facie independen terhadap dan tidak hadir dalam pikiran, hanya bisa memotivasi kegiatan intelektual subyek dari arah luar dan tidak bisa diidentikkan dengannya. Akan tetapi, eksistensi mental obyek yang sama, karena hadir di alam pikiran, merupakan kausa bagi kausalitas subyek. Artinya, subyek yang mengetahui sebagai kausa efisien pada gilirannya disebabkan dan digerakkan oleh bayangan mental dan pikiran obyek dalam pelaksanaan tindak pengetahuan. Karena gagasan tentang obyeklah yang pertama kali mengefektifkan kausalitas potensial subyek dengan membawanya dari keadaan potensialitas (bil quwwah) ke keadaan actual (bil fi’il). Seandainya gagasan tentang obyek tidak terdapat dalam gagasan subyek yang mengetahui, niscaya subyek potensial tersebut tidak akan pernah sampai pada tindak mengetahui sama sekali. Oleh karena itu, dalam urutan kausalitas ini gagasan tentang obyek muncul lebih dahulu, dan dipandang sebagai kausa prima (sebab pertama) atau salah satu kausa dari sistem kausalitas. Dan realitas obyektif dari hal yang sama merupakan kausa terakhir dan final dari tindak imanen pengetahuan. Dalam pengertian ini tidaklah mengherankan bahwa satu hal pada waktu yang bersamaan menjadi sebab pertama dan terakhir apabila dipandang dari perspektif yang berbeda. Sementara representasi mental realitas tersebut merupakan kausa pertama dan utama dari mengetahui, realitas obyektifnya merupakan kausa terakhir dan final.[6]
Obyek-obyek Aksidental (Transitif) adalah Obyek-obyek Tak Hadir
Dari semua ini kita bisa memahami bagaimana semua situasi dan kondisi ini membenarkan pengandaian-pengandaian oleh para pemikir yang berorientasi pencerahan dan iluminatif, semisal Mulla Shadra, yang menegaskan bahwa benda-benda yang termasuk dalam tatanan dunia eksternal harus dipandang sebagai “obyek-obyek tak hadir” yang diperlawankan dengan “obyek-obyek yang hadir”. Obyek-obyek eksternal ini, dalam pengertian yang sesungguhnya, tidaklah hadir bagi, dan diidentifikasikan dengan, kita dalam dataran eksistensi, akan tetapi konsepsi-konsepsi mereka dan representasi-representasinya memang hadir bagi, dan identik dengan, kita. Dalam hal ini Mulla Shadra menulis, “Sebuah risalah tentang teori bahwa pengetahuan mengenai obyek-obyek ini yang eksistensinya absen dari kita hanya mungkin melalui perantaraan representasi obyek-obyek di dalam diri kita.
Akan tetapi, menurut pendapatnya, adalah absurd apabila realitas obyektif obyek-obyek ini pernah hadir dalam pikiran kita sedemikian rupa sehingga sebuah obyek eksternal menjadi internal secara total, dan suatu eksistensi yang mandiri jatuh dari dataran eksistensinya ke dataran konsepsi yang hidup dalam keadaan mentalitas kita (yakni berada di alam pikiran kita). Dalam pandangan filosof agung ini, kita masih dapat mencapai komunikasi dengan “obyek-obyek tak hadir” tersebut hanya melalui representasi-representasi yang bersifat perseptual maupun konseptual dalam pikiran kita. Representasi-representasi ini pada mulanya adalah milik kita dan dibangkitkan serta ditegakkan oleh kekuatan intelektual kita.
Marilah kita ringkaskan pembahasan tentang perbedaan antara obyek esensial (imanen) dengan obyek aksidental (transitif). Obyek pengetahuan kita haruslah dipahami sebagai dua jenis. (a) obyek-obyek esensial, imanen, intrinsik, dan wajib yang merupakan bagian dari aksi subyek yang mengetahui; dan (b) obyek-obyek aksidental, transitif, dan ekstrinsik yang tidak hadir dalam pikiran dan berada di luar tindak mengetahui. Hubungan antara kedua obyek yang berbeda ini adalah melalui korespondensi bukan identitas.
Karena obyek esensial dan imanen bebas dari keterikatan dengan materi, dia dapat dicontohkan sebagai obyek yang bisa diindera, dibayangkan, dan sangat bisa dipahami secara transendental, bergantung pada derajat pengetahuan abstrak dan kekuatan pemahaman mental kita. Dalam proyek ini bahkan obyek terinderai yang imanen dalam pengetahuan empiris kita menikmati suatu derajat primitif abstraksi dan transendentalitas karena dia bebas dari materi. Artinya dia berada bukan dalam materi, akan tetapi di alam pikiran dan mental.
Di lain pihak, obyek aksidental dan transitif adalah bentuk obyek yang eksternal, material, ataupun immaterial, yang secara eksistensial tidak bergantung pada, dan terpisah dari, keadaan mentalitas kita dan tidak mempunyai kerentanan terhadap derajat abstraksi. Dalam kasus obyek material, dia terikat dan bergantung dengan materi, ruang, dan waktu. Di samping itu, dalam contoh obyek nonmaterial, apabila obyek seperti itu memang ada, dia berdiri sendiri tanpa hubungan pasif dengan materi, ruang, ataupun waktu. Obyek-obyek aksidental dan transitif ini dapat dikomunikasikan hanya dengan menginisiasi representasi-representasi ini, karena berada dalam tatanan konsepsi, mesti dipandang sebagai obyek-obyek imanen yang sebenarnya, dan obyek-obyek yang direpresentasikan oleh mereka –yang eksistensinya tetap berada dalam wujud- harus dianggap sebagai obyek-obyek transitif dan aksidental.
Akhirnya, orang harus memperhatikan bahwa untuk obyek-obyek esensial yang subyektif, yang baru saja kita cirikan sebagai obyek-obyek yang bebas dari materi, persoalan apakah obyek-obyek itu bebas, dan karenanya “abstrak” atau bebas secara esensial, dan karenanya “bersifat bawaan”, bisa diputuskan dengan mudah. Meskipun tidak secara prinsipil menjadi pokok persoalan kita, kita telah menunjukkan bahwa “abstraksi” tidak boleh dianggap sebagai aksi intensional lain yang ditambahkan kepada tindakan mengetahui, mempersepsi, atau menggagas. Sebaliknya, dia tidak lain adalah tindak mengetahui itu sendiri, sedemikian sehingga bahkan dalam bentuk primitifnya dia merepresentasikan bentuk murni obyek material melalui pengalaman-indera. Karenanya, abstraksi tidak boleh dipahami sebagai penjumlahan persepsi atas seluruh obyek material, kemudian memisahkan bentuknya dari materi dengan tetap menyimpan bentuknya dalam pikiran, dan membiarkan materi berada di dunia luar. Kekuatan subyektif mengetahui tidak, dan tidak bisa, mendatangkan apapun dari luar dirinya. Sebaliknya, kekuatan bawaan representasi bentuk murni benda-bendalah yang membuat esensi sederhana pengetahuan kita menjadi mungkin. Atas dasar pencerahan ini, semua jenis dan ragam pengetahuan kita memperoleh derajat transendentalitas yang layak. Persepsi-indera yang empiris, misalnya, karena merupakan representasi-indera dari bentuk murni sebuah obyek fisik, terhitung sebagai bentuk primitif tak sempurna dari obyek transendental. Status eksistensial suatu persepsi-indera tidak pernah dapat diklasifikasikan sebagai obyek material, sebaliknya, dia merupakan entitas immaterial yang mewakili bentuk murni obyek material. Dia mewakili bentuk obyek material tersebut tanpa memiliki materi eksternalnya.[7]
Ilmu huduri dibedakan dari ilmu husuli yang diupayakan melalui prosuder berpikir rasional-logis. Pengetahuan dalam ilmu husuli bersifat representasional yakni membutuhkan representasi objek yang diketahui didalam pikiran subjek yang mengetahui. Contoh sederhana representasi-forma atau shurah batu itu dalam pemikiran kita. Demikian halnya dengan konsep-konsep, seperti kecantikan, atau sebagian besar konsep-konsep intelektual atau imajinatif, tentunya yang bukan bersifat huduri, seperti akan kita singgung dibawah ini.
Bentuk-bentuk ilmu huduri meliputi antara lain, pengetahuan tentang diri(“aku”) sendiri, tentang kejiwaan diri kita sendiri, seperti ketakutan, cinta, dan sebagainya; tentang daya-daya perseptif dan motor kita seperti ketika kita, misalnya, merasakan nyeri disalah satu bagian tubuh kita, “pengetahuan”(tepatnya, perasaan ayau pengalaman) kita tentang rasa nyeri itu terjadi tanpa ada  terlebih dulu representasi mental (pikiran) tentang rasa sakit itu; dan juga pengetahuan kita tentang representasinya dalam pemikiran subjek yang mengetahui. Karena jika representasi itu butuh representasi, maka yang akan terjadi adalah regresi tanpa ujung.
Demikian juga halnya dengan kebenaran-kebenaran primer (primay truths). Tanpa pengetahuan langsung tentang pengetahuan-pengetahuan seperti ini, lagi-lagi akan terjadi regresi tanpa ujung. Suatu saat, kebenaran-kebenaran primer yang akan menjadi landasan atau premis dalam prosedur berpikir logis pasti dibutuhkan.
Demikian pula pengetahuan kita tentang diri kita (“aku”) sendiri. Ketika kita berpikir tentang diri kita, maka pada saat itu sebenarnya pengetahuan tentang diri kita sudah ada.
Pengetahuan huduri yakni tepat pada saat ia diraih (secara eksperiensial) sepenuhnya bebas dari katagori benar salah, karena sesungguhnya ia bersifat eksistensial, hadir begitu saja sebagai pengalaman. Baru ketika dibayangkan (kembali) atau diungkapkan ia terbuka terhadap kemungkinan salah. Sebab, dalam tahap ini dia sudah berubah menjadi pengetahuan huduri, yang bersifat representasional.[8]
C.    METODOLOGI ILMU HUDURI
Satu hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam menjelaskan metodologi pengetahuan dengan kehadiran (ilmu Hudhuri), adalah keterkaitannya dengan wilayah aplikasi ilmu hudhuri, yaitu pengetahuan tentang diri (self knowledge), pengetahuan manusia tentang Tuhan, pengetahuan Tuhan tentang Diri-Nya, Pengetahuan Tuhan tentang Emanasi-Nya, dengan metode yang berbeda-beda.
Dalam tasawuf dikenal tiga alat untuk berkomunikasi secara rohaniah, yaitu kalbu untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai tuhan, dan sirr untuk musyahadah yakni menyiksakan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Tuhan secara yakin (Ensiklopedi Islam, 3: 89). Ketiga unsur itu sebenarnya menyatu, kesatuan itu secara umum disebut hati. Jika hati tersebut dikosongkan dari segala sesuatu yang buruk dan diisi dengan dzikrullah, maka hati itu akan mencapai pengetahuan yang disebut dengan huduri.[9]
Ha’iri mengikuti pendapat Suhrawardi tentang self knowledge dengan cara menyadari bahwa dalam alur perjalanan pengetahuan, manusia diharuskan menyadiri realitasnya sendiri, kemudian berlanjut kepada dunia eksternal. Ada dua cara pembuktian bahwa seseorang benar-benar sadar akan dirinya; Pertama, dengan mengetahui sesuatu selain dirinya; Kedua, dengan mengetahui diri sendiri secara langsung melalui proses perenungan.
Sebagai puncak ilmu hudhuri, Ha’iri menyebutkan “peniadaan mistik” atau dalam bahasa tasawuf sering dikenal dengan fana’. Bagi Ha’iri pengalaman seperti ini sangat dibutuhkan, karena dalam hidup ini, sesungguhnya realitas “keakuan” selalu terkait dengan “kediaan” yang keduanya tidak boleh disalingtukarkan. Dalam filsafat pencerahan, juga dikenal istilah “piramida eksistensi” dimana ada dua dimensi yang tidak mungkin untuk dicampur adukkan, yaitu dimensi vertikal dan horisontal. Karena itu, “peniadaan mistik” atau fana’ di atas adalah merupakan pengunduran diri dari dimensi horisontal menuju kepada dimensi vertikal.
Suhrawardi dalam bukunya Hikmat al-Isyraq beliau menjelaskan pandangannya tentang bagaimana pengetahuan dalam perspektif ilmuminasi diperoleh?. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa untuk mendapatkannya harus melewati proses yang terdiri dari tiga tangga. Tangga yang pertama adalah aktivitas yang melaluinya filosof mempersiapkan dirinya sendiri bagi pengetahuan illuminasi, suatu jalan hidup tetentu yang harus ia ikuti untuk sampai pada kesiapan menerima “pengalaman”. Tahap kedua adalah tangga illuminasi. Tahap ketiga adalah tahap konstruksi.
Awal tahap pertama ditandai dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama empat puluh hari, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri untuk menerima pancaran-pancaran dari cahaya tuhan. Sedangkan tahap yang kedua adalah tangga illuminasi yang merupakan cahaya Tuhan memasuki wujud manusia. Cahaya ini yang akan mengantarkan kita untuk memperoleh pengetahuan yang tak terbatas dan tak terikat, sedangkan tahapan yang ketiga adalah tahap pembangunan suatu ilmu. Dalam tahap ketiga ini, filosof menggunakan analisis diskursif. Pengalaman ditempatkan pada pengujian untuk dibuktikan. Ini dilakukan lewat suatu analisis diskursif yang ditujukan untuk membuktikan pengalaman dan membangun suatu sistem tempat pengalaman itu sendiri dapat didudukkan dan validitasnya siap dideduksi, meskipun pengalaman itu sudah berakhir. Dari penjelasan ini dapat kita simpulkan bahwa tahapa-tahapan yang harus ditempuh untuk mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran dengan cara; pempersiapkan diri untuk memperoleh pengetahuan, menerimannya melalui proses isyraq, dan membangun suatu pandangan sistematik mengenainya sehingga hasil-hasil yang didapat melalui proses isyraq dapat di tuangkan kembali melalui kisah-kisah dan tulisan-tulisan.
Lebih lanjut Suhrawardi menjelaskan bahwa jalan sejati bagi pencapaian pengetahuan didasarkan pada penalaran diskursif dan intuisi intelektual, pada latiahan formal terhadap pikiran dan juga pada pembersihan jiwa. Melalui pernyataan ini beliau lebih lanjut membagi tingkatan orang yang berusaha mendapatkan pengetahuan sesuai dengan usaha pengembangan daya-daya tersebut dalam dirinya menjadi empat kategori:
1. mereka yang mulai merasa haus atas pengetahuan lalu memasuki jalan pencarian untuk memperolehnya.
2. mereka yang telah memperoleh pengetahuan formal dan menyempurnakan filsafat diskursif tapi masih asing dengan gnosis. Diantara mereka Suhrawardi menyebut nama Ibnu Sina dan al-Farabi.
3. mereka yang tidak peduli atas bentuk-bentuk diskursif pengetahuan sama sekali tapi telah membersihkan jiwanya hingga mencapai intuisi intelektual dan pencerahan batin (iluminasi), seperi Hallaj, Bastami dan Tustari
4. Mereka yang menyempurnakan filsafat diskursif dan juga memperoleh iluminsai atau gnosis.
Menurut Suhrawardi, kategori-kategori ini terdapat hirarki wujud-wujud spiritual yang samawi atau tak terindera, yang pada gilirannya digunakan oleh jiwa-jiwa manusia untuk mendapat iluminasi dan akhirnya menyatu dengan-Nya. Dan proses puncak dari pengalaman inilah yang sebenarnya disebut dengan ilmu hudhuri, karena pada kenyataannya pengalaman tersebut tidak bisa diungkapkan dengan definisi yang konseptual, ia hadir dan tidak terkatakan.[10]
D.    MANFAAT ILMU HUDURI
Dari penjelasan diatas sudah dapat kita pahami bahwa ilmu huduri bukanlah ilmu yang sembarangan. Ilmu tersebut berasal dari Allah langsung tanpa harus melalui proses apapun.
Orang yang sudah mendapatkan ilmu huduri, orang iu telah mencapai tingkatan wali Allah atau manusia Tuhan (lihat Abu Bakar Atjen, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, 1989:276). Ia biasanya memiliki kesaktian dan kekuatan gaib yang luar biasa, seperti tidak tampak ketika bersama-sama orang banyak, dapat berjalan diatas air, memegang api, menyembuhkan orang sakit, memperpanjang umur (lihat Abdul Qadir Zailani, Koreksi Terhadap Ajaran tasawuf, 1996:205). Selanjutnya dikatakaan ia mengerti hal ihwal semua makhluk, dapat mengetahui pikiran orang lain sebelum orang itu mengucapkannya, dapat mengetahui seseorang akan mati.[11]
Manfaat atau kegunaan ilmu huduri diantaranya sebagai berikut :[12]
§  Agar dapat memahami ilmu dengan tepat.
§  Dapat mengetahui tingkatan ilmu seseorang.
§  Mengetahui karakter seseorang.
§  Dapat mengambil ilmu orang lain yang diinginkan.
§  Dapat membedakan antara jin, setan, malaikat dan dapat berdialog dengan mereka itu.
§  Dapat mengetahui penyakit seseorang dan dapat menyembuhkannya.
§  Dapat mengobati orang kena santet.
§  Dapat mengetahui jodoh seseorang dan nasibnya.
§  Dapat mengetahui keinginan seseorang tanpa ia mengatakannya.












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam semua ini kita telah membicarakan persoalan-persoalan mendasar berikut: analisis tentang pengetahuan secara logis menyiratkan bahwa karena obyeknya tidak lain hanya bersifat imanen dan esensial, maka arti obyektivitas obyek ini, seperti yang telah kita tunjukkan bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahui itu sendiri. Sebaliknya, obyek transitif, karena secara keseluruhan bersifat aksidental, tidak menjadi bagian dari inti esensial kesadaran dan pengetahuan manusia.
Obyek transitif dan aksidental dengan demikian menjadi konstitutif hanya ketika yang dipersoalkan adalah pengetahuan tentang obyek eksternal. Ini adalah spesies pengetahuan tertentu yang dalam terninologi kita akan dinamakan “pengetahuan dengan korespondensi” (ilmu hushuli) yang diperlawankan dengan “pengetahuan dengan kehadiran” (ilmu hudhuri). Akan tetapi, bentuk primordial pengetahuan adalah “pengetahuan dengan kehadiran”, dan terlebih lagi dalam teori pengetahuan, obyek transitif eksternal sama sekali tidak berfungsi sebagai bagian pembentuk konsep umum pengetahuan. Dari semua ini dengan sendirinya dapat disimpulkan bahwa gagasan prospektif kita tentang “pengetahuan dengan kehadiran”, sebagaimana dicirikan oleh swa-obyektivitas, benar-benar dan dengan sendirinya dijelaskan oleh bentuk dasar pengetahuan, tanpa mempunyai obyek fisik eksternal yang berkorespondensi dengan obyek yang hadir secara esensial. Akan tetapi, “pengetahuan dengan kehadiran” secara harfiah termasuk, bahkan merupakan contoh utama, dalam kategori pengetahuan seperti itu, sebab dia bersifat neotic dan obyektif dalam hakikatnya dan memenuhi semua persyaratan esensial konsepsi pengetahuan, mekipun tidak mempunyai obyek transitif yang aksidental. Dengan demikian, tidak terdapat alasan untuk mengingkari dan menolak pengertian obyektivitas jenis pengetahuan ini semata-mata karena dia tidak mempunyai obyek luar dan eksternal. Demikian pula, tidak ada alasan untuk diperlukannya semacam transubyektivitas dalam kesadaran mistik yang, seperti akan kita lihat, merupakan sejenis “pengetahuan dengan kehadiran”. Dinyatakan secara ringkas, ilmu hudhuri secara harfiah berarti pengetahuan dengan kehadiran karena dia ditandai oleh keadaan neotic dan mempunyai obyek imanen dan esenssial yang menjadikannya pengetahuan swaobyek (self object-knowledge), yang memadai untuk definisi pengetahuan seperti itu tanpa membutuhkan obyek transitif dan aksidental yang berkoresponden, selain obyek yang imanen dan esensial.

























DAFTAR PUSTAKA

Tafsir Ahmad, 2012, FILSAFAT ILMU, Bandung, Rosda
Bagir Haidar, 2006, BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM, Bandung,  Mizan
Ha’iri Yazdi Mehdi, 1996, ILMU HUDURI, Bandung,  Mizan




[1] Aji Pangestu, “Ilmu Huduri”, diakses dari http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/ilmu-hudhuri.html, pada tanggal 15 September 2014 pukul 16.20
[2] Ahmad Tafsir, FILSAFAT ILMU, Rosda, Bandung, 2012, hal 154-155
[3]  Mulyadhi Kartanegara, “Ilmu Hushuli vs Ilmu Hudhuri”, diakses dari http://on.fb.me/1kbzmy8, pada tanggal 15 September 2014 pukul 10.47
[4] Mulyadhi Kartanegara, “Ilmu Hushuli vs Ilmu Hudhuri”, diakses dari http://on.fb.me/1bWvFsT pada tanggal 15 September 2014 pukul 10.50
[5]  Mulyadhi Kartanegara, “Ilmu Hushuli vs Ilmu Hudhuri”, diakses dari http://on.fb.me/1cyaJ81 pada tanggal 15 September 2014 pukul 10.55
[6] Mehdi Ha’iri Yazdi, ILMU HUDURI, Mizan, Bandung, 1996, hal 54-57
[7] Ibid, hal 71-73
[8] Haidar Bagir, BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM, Mizan, Bandung, 2006, hal 186-188
[9] Ahmad Tafsir, FILSAFAT ILMU, Rosda, Bandung, 2012, hal 153
[10] Aji Pangestu, “Ilmu Huduri”, diakses dari http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/ilmu-hudhuri.html, pada tanggal 15 September 2014 pukul 16.20
[11] Ahmad Tafsir, FILSAFAT ILMU, Rosda, Bandung, 2012, hal 154
[12] Ibid, hal 158

makalah insan kamil

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu ‘arabi dan ‘Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad SAW.
Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh "perilaku" Nabi Muhammad.
Bagaimana konsep insan kamil dalam ilmu tasawuf yang lebih spesifik, akan dijelaskan pada makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian insan kamil?
2.      Bagaimana konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf?
3.      Bagaimana ciri-ciri insan kamil?
4.      Bagaimana proses pembentukan insan kamil?
5.      Bagaimana insan kamil dalam Al-qur’an?
6.      Bagaimana kedudukan insan kamil?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui arti dari insan kamil.
2.      Mengetahui  konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf.
3.      Mengetahui ciri-ciri insan kamil.
4.      Mengetahui proses pembentukan insan kamil.
5.      Mengetahui insan kamil dalam Al-qur’an.
6.      Mengetahui kedudukan insan kamil.




















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia.
Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
B.     Insan Kamil Menurut Para Tokoh Tasawuf
Beberapa tokoh tasawuf menjelaskan tentang konsep insan kamil dalam ajarannya. Yaitu:
1.      Insan Kamil Menurut Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma’rifat.[1]
Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna.[2]
Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
2.      Insan Kamil Menurut ‘Abd Al-Karim Al-Jilli
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a.       Insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna.
Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b.      Insan kamil terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu mencakup Asma’ sifat dan hakikatNya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
      Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
1)      Tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2)      Tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3)      Tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.[3]

C.      Ciri - ciri Insan Kamil
Menurut Murthadho Muttari manusia sempurna (Insan Kamil) yakni mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan.
Orang islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat, terutama berhubungan dengan penyiaran dan pembelaan serta penegakkan agama islam. Dalam surah al-Anfal : 60, disebutkan agar orang islam mempersiapkan kekuatan dan pasukan berkuda untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan pula dengan menguasai keterampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.
2.      Cerdas serta pandai.
Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan (banyak memiliki informasi). Didalam surah az-Zumar : 9 disebutkan sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui, sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
3.      Ruhani yang berkualitas tinggi.
Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah, atau kalbu yang taqwa kepada Allah. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnya shalat, ia shalat dengan khusuk, bila mengingat Allah kulit dan hatinya tenang  bila disebut nama Allah bergetar hatinya bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan menangis.[4]
Sifat-sifatnya manusia yang sempurna terdiri dari : Keimanan, Ketaqwaan, Keadaban, Keilmuan, Kemahiran, Ketertiban, Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran, Persaudaraan, Persepakatan dalam hidup, Perpaduan umah. Untuk cara-cara mencapainya ialah dengan car istigfar kepada Allah SWT, ikhlas, sabar, cermat, optimis serta Syukur.
Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :[5]
a)      Sifat amanah (dapat dipercaya)
Amanah / dapat dipercaya maksudnya ialah dapat memegang apa yang dipercayakan seseorang kepadanya. Baik itu sesuatu yang berharga maupun sesuatu yang kita anggap kurang berharga.
b)      Sifat fathanah (cerdas)
Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang lebih baik.
c)      Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah kata yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam kehidupan sehari – hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat jujur tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
d)     Sifat Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan sesuai dengan kenyataan.
D.    Proses Pembentukan Insan Kamil
Proses atau tahapan pembentukan insan kamil dibedakan menjadi beberapa bagian antara lain :
1.      Proses Pembentukan Kepribadian.
Dapat dipahami bahwa insan kamil merupakan manusia yang mempunyai kepribadian muslim yang diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas dari keseluruhan tingkah laku baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun sikap batinnya. Tingkah laku lahiriyah seperti kata-kata, berjalan, makan, minum, berhadapan dengan teman, tamu, orang tua, guru, teman sejawat, anak famili dan lain-lainnya.
Sedangkan sikap batin seperti penyabar, ikhlas, tidak dengki dan sikap terpuji lainnya yang timbul dari dorongan batin, yakni terwujudnya perilaku mulia sesuai dengan tuntunan Allah SWT, yang dalam istilah lain disebut akhlak mulia yang ditempuh melalui proses pendidikan Islam. Sabda Rasululah SAW yang artinya: “sesungguhnya aku diutus adalah untuk membetuk akhlak mulia” Dalam kaitan dengan hal itu dalam satu hadits beliau pernah bersabda : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”.
2.      Pembentukan Kepribadian Muslim.
Kepribadian muslim dapat dilihat dari kepribadian orang perorang (individu) dan kepribadian dalam kelompok masyarakat (ummah). Kepribadian individu meliputi ciri khas seseorang dalam sikap dan tingkahlaku, serta kemampuan intelektual yang dimilikinya.


a)      Pembentukan Kepribadian Muslim sebagai Individu
Proses pembentukan kepribadian muslim sebagai individu dapat dilakukan melalui tiga macam pendidikan.
1)      Pranata Education (Tarbiyah Golb Al-Wiladah)
Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara tidak langsung. Proses ini dimula disaat pemilihan calon suami atau istri dari kalangan yang baik dan berakhlak. Sabda Rasulullah SAW : “ Pilihlah tempat yang sesuai untuk benih (mani) mu karena keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan sikap prilaku orang tua yang islam”.[6]
2)      Education by Another (Tarbiyah Ma’aghoirih).
Proses pendidikan ini dilakukan secara langsung oleh orang lain (orang tua di rumah tangga, guru di sekolah dan pemimpin di dalam masyarakat dan para ulama). Manusia sewaktu dilahirkan tidak mengetahui sesuatu tentang apa yang ada dalam dirinya dan diluar dirinya. Firman Allah SWT yang artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui apapun dan Ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati ” ( Q.S. An-Nahl : 78 )
3)      Self Education (Tarbiyah Al-Nafs)
Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang lain seperti membaca buku-buku, majalah, Koran dan sebagainya melalui penelitian untuk menemukan hakikat segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Menurut Muzayyin, Self Education timbul karena dorongan dari naluri kemanusiaan yang ingin mengetahui. Ia merupakan kecenderungan anugrah Tuhan. Dalam ajaran islam yang menyebabkan dorongan tersebut adalah hidayah. Firman Allah SWT yang artinya : “Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap makhluk bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thoha:50)
b)      Pembentukan Kepribadian Muslim sebagai Ummah.
Komunitas muslim ini disebut ummah. Abdullah al-Darraz membagi kajian pembentukan itu menjadi empat tahap, sebagaimana dikutip sebagai berikut :
1)      Pembentukan nilai-nilai Islam dalam keluarga
Bentuk penerapannya adalah dengan cara melaksanakan pendidikan akhlak di lingkungan rumah tangga, langkah-langkah yang di tempuh adalah:
·         Memberikan bimbingan berbuat baik kepada kedua orang tua
·         Memelihara anak dengan kasih saying
·         Memberikan tuntunan akhlak kepada anggota keluarga
·         Membiasakan untuk menghargai peraturan dalam rumah tangga
·         Membiasakan untuk memenuhi hak dan kewajiban antara kerabat

2)      Pembentukan nilai-nilai islam dalam hubunga social
Kegiatan pembentukan hubungan sosial mencangkup sebagai berikut:
·         Melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan keji dan tercela
·         Mempererat hubungan kerjasama
·         Menggalakkan perbuatan terpuji dan memberi manfaat dalam kehidupan bermasyarakat seperti memaafkan, dan menepati janji
·         Membina hubungan menurut tata tertib seperti berlaku sopan, meminta izin masuk rumah orang lain.
·         Perbuatan nilai-nilai islam dalam berkehidupan sosial bertujuan untuk menjaga dan memelihara keharmonisan hubungan antar sesama anggota masyarakat.
E.     Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an
Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah SWT
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
F.         Kedudukan Insan Kamil
Insan kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Tuhan menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya. Yang dimaksud dengan khalifah bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam suatu wilayah negara (al-khilāfah az-zāhiriyyah) tetapi lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilāfah al-ma’nawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.
            Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār),ilmu ladunni atau pengetahuan gaib. Jika seseorang telah dapat mengosongkanaql dan qalbnya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan qalbnya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.[7] Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb(poros). Dalam struktur hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman.[8]
Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadahtajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah tajalli Tuhan ia merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai quthb, ia adalah sumber pengetahuan esoterik yang tidak pernah kering.













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Menurut Ibnu ‘Arabi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal.
Dalam Al-Qur’an menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah figur insan kamil yang patut dicontoh oleh umat manusia.
Insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb).









DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, 1997Manusia Citra Ilahi, Jakarta, Paramadina
Asmaran, 2002, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Asy’arie, 2002, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI
Muthari Murtalha,  2003, Manusia Sempurna, Jakarta,  Lentera
Syukur, M. Amin, dan Usman, Fathimah,  2005, Insan Kamil, Semarang, CV. Bima Sejati
Supiana dan Karman, M. Materi Pendidikan Agama Islam.2009.Bandung, PT. Remaja Rosda Karya




[1] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 60
[2] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 354
[3] Yunasril Ali, op.cit., hal. 56.
[4] Muthari Murtalha,  Manusia Sempurna, ( Lentera, Jakarta, 2003 ), hal. 23.
[5] Syukur Amin M. dan Usman Fathimah , Insan Kamil (Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMH) LEMBKOTA/Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf), ( CV. Bima Sejati, Semarang, 2005 ), hal. 71.
[6] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2009), hal.70.
[7] Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hal. 74.
[8] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 93.

Popular Posts

Powered by Blogger.

Copyright © 2012 DETEKTIF HATITemplate by :Urangkurai.Powered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.