BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Tradisi
filsafat Islam yang tidak meninggalkan warisan berbentuk epistemologi, membawa
dampak eksistensi epistemologi Islam selalu dipertanyakan. Apakah epistemologi
Islam ada atau tidak ada. Jawaban atas pertanyaan ini, masih terdapat silang
pendapat diantara para pakar. Disatu pihak menyatakan dengan tegas epistemologi
Islam tidak ada, sebab ilmu itu sifatnya netral, tidak memihak salah satu
agama. Sedangkan dipihak lain berpendapat, epistemologi Islam ada, paling tidak
dalam tahap pencarian bentuknya. Sehingga dengan lahirnya teori Ilmu Hudhuri
yang pertama kali diuraikan dalam filsafat pencerahan (al-Hikamh
al-Isyraqiyyah) melalui pemikiran Syihabuddin Suhrawardi adalah merupakan
jawaban dari keraguan akan eksistensi epistemologi Islam yang selama ini sedang
dipertanyakan, dan sekaligus merupakan petunjuk yang dapat dijadikan pedoman
untuk menguak misteri epistemologi Islam yang selama ini masih dalam proses
mencari-cari bentuknya.
Ilmu
Hudhuri merupakan sebuah bentuk riil dari epistemologi Islam yang mendasarkan
sebuah pengetahuan diperoleh dengan kehadiran (al-Ilmu al-Hudhuri) yang
mempunyai cara kerja berbeda dengan pengetahuan melalui konsep atau
konseptualisasi (al-Ilmu al-Hushuli). Berdasarkan teori ini para filosof Islam
yang mencoba mengkritisi filosof-filosof yang mengembangkan epistemologi mereka
seperti Kant, Russel, Wittgenstein, dan lain-lain, tanpa kesadaran akan
realitas makna “pengetahuan dengan kehadiran” atau yang biasa dikenal dengan
Ilmu Hudhuri, karna menurut mereka (filosof Islam) manusia pada hakikatnya
memiliki kesadaran atau pengetahuan yang tidak diperoleh lewat representasi
atau data indra melainkan melalui pikiran yang mengetahui sesuatu tanpa
representasi (data indrawi).[1]
Oleh
karena itu dalam kajian ini kami akan menelti dan mengklarifikasi ilmu huduri
dan objeknya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Sehubungan
dengan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam
makalah ini adalah:
a. Pengertian
ilmu huduri
b. Objek
ilmu huduri
c. Metodologi
ilmu huduri
d. Manfaat
ilmu huduri
C.
TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan
latar belakang masalah dan perumusan masalah yang menjadi titik pokok
pembahasan, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Memahami
definisi ilmu huduri
b. Memahami
objek ilmu huduri
c. Memahami
metodologi ilmu huduri
d. Memahami
manfaat/kegunaan ilmu huduri
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
ILMU HUDURI
Dalam
Ensiklopedia Islam: Ilmu huduri adalah ilmu batiniah atau ilmu pengetahuan yang
diperoleh seseorang yang saleh dari Allah SWT melalui ilham, iluminasi,
inspirasi dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan
tertentu. Ilmu huduri bukan merupakan hasil pemikiran, melainkan sepenuhnya
tergantung atas kehendak dari karunia Allah SWT.
Adanya
ilmu huduri dibenarkan oleh al-Qur’an seperti disebut dalam surat al-Kahfi ayat
65”Dan telah Kami ajarkan (kepada Khidir) ilmu dari Kami”. Pada ayat 60 dampai
ayat 82 surat itu diceritakan tentang ilmu huduri yang dimiliki Nabi Khidir.
Nabi Khidir melubangi perahu, dan Nabi Musa tidak mengerti alasannya; Nabi
Khidir membunuh seorang pemuda, dan Nabi Musa tidak paham alasannya, alasannya
ialah karena Nabi Khidir telah mengetahui apa-apa yang belum terjadi mengenai
ketiga episode itu. Musa tidak mengetahuinya. Dalam contoh ini Nabi Khidir
memperoleh ilu huduri tentang itu sedangkan Nabi Musa tidak.
Kisah
diatas dapat dijadikan dalil tentang adanya ilmu huduri. Dari kisah itu
diketahui bahwa ilmu huduri diberikan kepada nabi, dalam hal ini Nabi Khidir.
Dalam surat jin ayat 26-27 dikatakan Dia-lah Tuhan yang mengetahui yang gaib,
dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu kecualai kepada
Rasul yang diridhai-Nya. Jadi menurut ayat ini pengetahuan tentang yang gaib
hanya diberikan Tuhan kepada Nab yang dikehendakinya.
Namun
sekalipun demikian ilmu huduri dapat juga dimiliki oleh orang selain nabi dan
rasul dengan syarat orang itu telah mencapai maqam itu. Berdasarkan sejarah
ternyata ada orang (bukan nabi dan rasul) mampu mencapai maqam itu dan ia
memiliki ilmu huduri.[2]
B.
OBJEK
ILMU HUDURI
Mehdi
Ha'iri Yazdi mengatakan bahwa makrifat (al-ma'rifah) adalah sejenis pengetahuan
melalui kehadiran, atau lebih populer disebut ilmu hudhuri (knowledge by
presence). Oleh karena itu mungkin bermanfaat untuk mengenal apa yang dimaksud
dengan ilmu hudhuri, sambil mengontraskannya dengan ilmu hushuli (knowledge by
correspodence).
Ilmu
hushuli adalah ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari objek yang ada di luar
kita secara objektif. Misalnya pengetahuan tentang meja dan gelas yang ada di
atasnya. Menurut ahli ilmu hudhuri, sebuah benda yang ada di hadapan kita,
selalu memiliki dua macam objek. Objek subjektif yang ada atau hadir dalam diri
(pikiran) kita, dan objek objektif yang ada di luar diri kita. Objek yang di
luar diri kita disebut bentuk (shurah), sedangkan objek yang ada di dalam diri
kita disebut makna. Ilmu hushuli dimungkinkan tapi tanpa jaminan kebenaran. Ia
dicapai oleh manusia berdasarkan pada "keserupaan" atau
"korespondensi" antara bentuk dan makna. Kalau korespondensi ini
berkorelasi positif, maka pengetahaun dikatakan benar, kalau negatif maka
dikatakan salah atau keliru.
Berbeda
dengan midus ilmu hushuli, ilmu hudhuri pada umumnya berhubungan dengan makna
atau objek subjektif yang sudah "dihadirkan" dalam diri kita. Ia
bukan tentang objek objektif yang berada di luar diri kita, sehingga objek ini
disebut absen atau tidak hadir dalam diri kita dan tidak bisa kenal secara
langsung atau intuitif. Sebaliknya ilmu hudhuri selalu menangkap objeknya
secara langsung, karena ia telah "hadir" dalam diri kita. Dan justru
karena ia telah hadir dalam diri kita, maka kita mengetahui objek tersebut
seperti kita mengetahui diri kita sendiri. Dari sinilah muncul konsep
self-knowledge, pengetahuan tentang diri sendiri. Dalam pengetahun diri, karena
subjek dan objek adalah sama, maka jurang yang biasanya menganga antara subjek
dan objekpun telah terjembatani. Maka terjadilah identitas (kesamaan) antara
subjek dan objek. Pengetahuan diri sedemikian langsungnya, karena tanpa simbol
apapun, sehingga kebenarannya pasti terjamin, karena di sini knowing
(mengetahui) adalah sama dengan ada (being), ringkasnya "knowing is
being," di mana pengetahuan telah menjadi wujud itu sendiri.[3]
Pengetahuan
tentang diri sendiri (self-knowledge), termasuk di dalamnya objek-objek
subjektif yang telah dihadirkan dalam diri kita, memiliki beberapa keistimewaan
tertentu di antaranya: pertama, berbeda dengan pengetahuan hushuli yang
objeknya berada di luar (ghaib, tidak hadir) dalam diri seseorang dan karena
itu tidak memiliki kaitan langsung dengannya, pengetahuan melalui kehadiran
bisa mengetahui objek-objeknya secara langsung, sehingga memiliki tingkat
kepastian yang sangat tinggi. Tingkat kepastian seperti ini tidak bisa dicapai
oleh ilmu hushuli karena adanya jurang yang dalam antara subjek dan objeknya,
sehingga keraguan selalu bisa timbul di dalamnya.
Kedua,
adalah bahwa dia memiliki prioritas absolut terhadap jenis pengetahuan manusia
lainnya. Syaikh Isyraqi, Suhrawardi mengatakan bahwa dalam perjalanan
pengetahuan manusia, seseorang haruslah pertama melakukan penyelidikan terhadap
kesadaran akan dirinya sendiri ('ilmi bidzatihi). Barulah dari tahap ini ia
bergerak menuju apa yang ada "di atas" atau "di seberang"
dirinya sendiri. Pengetahuan tentang diri sendiri bukanlah pengetahuan yang
diperoleh melalui representasi (bishurah), tetapi pengetahaun melalui makna
(bima'na) yang mendahului pengetahuan representatif. Setiap representasi yang
terjadi pada pikiran orang yang mengetahui, pada kenyataannya merupakan sesuatu
tambahan kepada realitas ini, dan dibandingkan dengan realitas itu sendiri
justru ia bertindak sebagai "dia" (huwa) bukan "aku" (ana).[4]
Selain
dua keistimewaan di atas, ilmu hudhuri juga mempunyai keistimewaan yang lain.
Sementara ilmu hushuli hanya bisa mengetahui hal-hal yang bersifat eksternal,
khususnya yang bersifat empiris, ilmu hudhuri bisa juga mengetahui hal-hal yang
non-empiris. Seperti telah disinggung, dalam ilmu hudhuri dikenal dua macam
objek, objek objektif (transitive object) yang berada di luar diri kita dan
objek subjektif (immanent object) yang hadir dalam diri kita. Dalam ilmu
hudhuri, yang juga sering disebut pengetahuan fenomenal, objek-objek transitif
atau objektif bersifat aksidental, sedangkan objek immanen atau subjektif
bersifat niscaya dan instrinsik. Yang pertama dihubungkan melalui
korespondensi, sedangkan yang terakhir dihubungkan melalui identitas.
Karena
sifatnya yang aksidental maka objek-objek transitif (objektif) tidak mempunyai
hak istimewa sebagai satu- satunya objek yang mungkin dapat diketahui oleh
manusia. Mulla Shadra dalam sistem filsafatnya, memperluas objek-objek
subjektif yang esential dari semata-mata kesan inderawi, sebagai objek
pengalaman inderawi, kepada objek-objek ma'quli (intelligible) yang bersifat
transenden. Di sini perbedaan antara objek-objek esensial dan aksidental,
justru terutama dirancang untuk diterapkan pada semua jenis tindakan epistemik,
baik yang bersifat empiris maupun yang transenden, yakni objek-objek ma'quli.
Objek-objek ini merupakan objek-objek aktual dari pikiran kita, karena, menurut
Mulla shadra, objek-objek inilah yang betul-betul terbebas dari materi dan
esensial untuk diketahui oleh tindakan intelektual.[5]
Pengertian Obyek Esensial (Imanen)
Apabila
dalam pemahaman Aristotelian tentang intensionalitas terdapat pembenaran untuk
membedakan dua jenis perbuatan manusia, yaitu ‘perbuatan imanen’ dan ‘perbuatan
transitif’, maka tampaknya tak ada yang menghambat kita untuk mengambil garis
yang sama dengan membedakan dua jenis obyek yang sebanding, yaitu “obyek
esensial atau obyek imanen” dan “obyek aksidental atau obyek transitif”.
Distingsi
ini tidak dilandaskan pada penyamaan dan sewenang-wenang atas penjabaran
Aristotelian yang termasyhur mengenai dua perbuatan dan aksi yang berbeda
tersebut dengan distingsi sementara kami antara dua sistem obyektivitas. Kami
memahami secara prima facie, bahwa identifikasi yang tak layak seperti ini
tidak bisa diterima, karena suatu perbuatan dan tindakan, yang imanen maupun
yang transitif, tidak pernah dapat diaplikasikan dan diterapkan kepada
obyek-obyek tindakan tersebut. Walaupun demikian, adalah niscaya bahwa suatu
tindakan imanen seperti halnya pengetahuan da makrifat kita, bisa dianalisis
secara sangat logis menjadi subek yang mengetahui dan obyek yang diketahui
(ma’lum). Dengan demikian, anatomi obyek yang diketahui pada gilirannya bisa
dianalisis menjadi obyek internal dan obyek eksternal. Manakala analisis kita
sampai pada tahap ini, tanpa keraguan sedikitpun, kita boleh merasa berhak
untuk mencirikan dengan sah obyek internal sebagai obyek imanen dan obyek
eksternal sebagai obyek transitif.
Beralih
pada analisis konsep pengetahuan itu sendiri, di antara berbagai distingsi yang
sejauh ini telah dibuat berhubungan dengan konsep tentang pengetahuan manusia,
distingsi dan perbedaan antara “subyek” dan “obyek” adalah yang paling luas diterima. Dengan adanya
anteseden ini, salah satu konsekuensi logisnya adalah perkembangan distingsi
lain yang telah dilakukan oleh beberapa filosof antara “obyek subyektif” dan
“obyek transitif” atau dalam terminologi kita, antara “obyek imanen” dan “obyek
transitif”. Pembahasan ini akan menaruh perhatian pada distingsi yang
disebutkan belakangan. Mereka yang tak akrab dengan spekulasi filosofis,
mungkin akan cenderung mengesampingkan pembedaan seperti ini, namun perenungan
tentang konsep pengetahuan itu sendiri menegaskan bahwa harus ada suatu obyek
imanen, yang berbeda dari obyek transitif.
Dalam
analisis tentang teori pengetahuan, istilah “subyek” berarti pikiran yang
melaksanakan tindak pengetahuan melalui mengetahui sesuatu, sebagaimana halnya
istilah “obyek” mengacu kepada benda atau proposisi yang diketahui oleh subyek
tersebut, Akan tetapi, karena dalam sebuah proposisi yang diketahui selalu ada
sesuatu yang terlibat, baik yang khusus maupun yang universal, maka
konsekuensinya adalah benar jika dikatakan bahwa obyek pengetahuan selamanya
adalah apa yang kita sebut hal yang diketahui. Dinyatakan juga bahwa karena
hubungan yang disebut “mengetahui” terbentuk oleh pikiran sebagai subyek yang
diasosiasikan dengan sesuatu sebagai obyek, yang kedua-duanya terjalin bersama
menjadi suatu kompleks yang utuh, maka subyek dan obyek juga mesti disebut
bagian-bagian dari kesatuan pengetahuan. Istilah “subyek” dan “obyek” adalah
dua esensialitas dari kesatuan pengetahuan.
Karena
pada esensinya bersifat intensional, maka tidak mengetahui senantiasa
dimotivasi, ditentukan, dan dibentuk oleh obyeknya. Karenanya obyek memiliki
saham, bersama subyek, dalam penyusunan dan penentuan tindak mengetahui, namun
berbeda dari subyek karena memiliki peran yang unik dalam memotivasi tindak
mengetahui. Karenanya, sementara ciri utama obyek adalah memotivasi tindakan
subyek, sebaliknya subyek tak bisa mengambil bagian dalam prosedur memotivasi
tindakan intensionalnya sendiri, dengan alasan sederhana bahwa orang yang
selalu hadir bagi dirinya sendiri tidak mungkin menjadi obyek bagi dirinya
sendiri. Dengan kata lain, pikiran dirancang untuk berfungsi sebagai kausa
efisien bagi tindak intensional mengetahui sesuatu, dan obyek berfungsi sebagai
kausa final untuk bagi pelaksanaan tindakan itu. Kausa efisien (al-‘illah al-fa’ili)
tidak dianggap mutlak identik dengan kausa final (al-‘illah al-ghayi) dalam
sistem kausalitas Aristotelian. Dengan demikian, suatu subyek tidak mungkin
identik dengan obyeknya.
Dengan
meletakkan hubungan subyek-obyek dalam konteks sistem kausalitas Aristotelian,
lebih lanjut bisa disimpulkan adanya distingsi khas lain antara subyek yang
mengetahui sebagai kausa efisien dan sesuatu yang diketahui sebagai kausa final
bagi tindak pengetahuan. Sementara kausa efisien didefinisikan sebagai agen
yang bertindak, artinya yang melahirkan tindak mengetahui, maka kausa final
berfungsi dengan dua cara berbeda tergantung pada eksistensi eksternal dan
internalnya. Eksistensi eksternal obyek, karena secara prima facie independen
terhadap dan tidak hadir dalam pikiran, hanya bisa memotivasi kegiatan
intelektual subyek dari arah luar dan tidak bisa diidentikkan dengannya. Akan
tetapi, eksistensi mental obyek yang sama, karena hadir di alam pikiran,
merupakan kausa bagi kausalitas subyek. Artinya, subyek yang mengetahui sebagai
kausa efisien pada gilirannya disebabkan dan digerakkan oleh bayangan mental
dan pikiran obyek dalam pelaksanaan tindak pengetahuan. Karena gagasan tentang
obyeklah yang pertama kali mengefektifkan kausalitas potensial subyek dengan
membawanya dari keadaan potensialitas (bil quwwah) ke keadaan actual (bil
fi’il). Seandainya gagasan tentang obyek tidak terdapat dalam gagasan subyek
yang mengetahui, niscaya subyek potensial tersebut tidak akan pernah sampai
pada tindak mengetahui sama sekali. Oleh karena itu, dalam urutan kausalitas
ini gagasan tentang obyek muncul lebih dahulu, dan dipandang sebagai kausa
prima (sebab pertama) atau salah satu kausa dari sistem kausalitas. Dan
realitas obyektif dari hal yang sama merupakan kausa terakhir dan final dari
tindak imanen pengetahuan. Dalam pengertian ini tidaklah mengherankan bahwa
satu hal pada waktu yang bersamaan menjadi sebab pertama dan terakhir apabila
dipandang dari perspektif yang berbeda. Sementara representasi mental realitas
tersebut merupakan kausa pertama dan utama dari mengetahui, realitas
obyektifnya merupakan kausa terakhir dan final.[6]
Obyek-obyek Aksidental (Transitif)
adalah Obyek-obyek Tak Hadir
Dari
semua ini kita bisa memahami bagaimana semua situasi dan kondisi ini
membenarkan pengandaian-pengandaian oleh para pemikir yang berorientasi
pencerahan dan iluminatif, semisal Mulla Shadra, yang menegaskan bahwa
benda-benda yang termasuk dalam tatanan dunia eksternal harus dipandang sebagai
“obyek-obyek tak hadir” yang diperlawankan dengan “obyek-obyek yang hadir”.
Obyek-obyek eksternal ini, dalam pengertian yang sesungguhnya, tidaklah hadir
bagi, dan diidentifikasikan dengan, kita dalam dataran eksistensi, akan tetapi
konsepsi-konsepsi mereka dan representasi-representasinya memang hadir bagi,
dan identik dengan, kita. Dalam hal ini Mulla Shadra menulis, “Sebuah risalah
tentang teori bahwa pengetahuan mengenai obyek-obyek ini yang eksistensinya
absen dari kita hanya mungkin melalui perantaraan representasi obyek-obyek di
dalam diri kita.
Akan
tetapi, menurut pendapatnya, adalah absurd apabila realitas obyektif
obyek-obyek ini pernah hadir dalam pikiran kita sedemikian rupa sehingga sebuah
obyek eksternal menjadi internal secara total, dan suatu eksistensi yang
mandiri jatuh dari dataran eksistensinya ke dataran konsepsi yang hidup dalam
keadaan mentalitas kita (yakni berada di alam pikiran kita). Dalam pandangan
filosof agung ini, kita masih dapat mencapai komunikasi dengan “obyek-obyek tak
hadir” tersebut hanya melalui representasi-representasi yang bersifat
perseptual maupun konseptual dalam pikiran kita. Representasi-representasi ini
pada mulanya adalah milik kita dan dibangkitkan serta ditegakkan oleh kekuatan
intelektual kita.
Marilah
kita ringkaskan pembahasan tentang perbedaan antara obyek esensial (imanen)
dengan obyek aksidental (transitif). Obyek pengetahuan kita haruslah dipahami
sebagai dua jenis. (a) obyek-obyek esensial, imanen, intrinsik, dan wajib yang
merupakan bagian dari aksi subyek yang mengetahui; dan (b) obyek-obyek
aksidental, transitif, dan ekstrinsik yang tidak hadir dalam pikiran dan berada
di luar tindak mengetahui. Hubungan antara kedua obyek yang berbeda ini adalah
melalui korespondensi bukan identitas.
Karena
obyek esensial dan imanen bebas dari keterikatan dengan materi, dia dapat
dicontohkan sebagai obyek yang bisa diindera, dibayangkan, dan sangat bisa
dipahami secara transendental, bergantung pada derajat pengetahuan abstrak dan
kekuatan pemahaman mental kita. Dalam proyek ini bahkan obyek terinderai yang
imanen dalam pengetahuan empiris kita menikmati suatu derajat primitif
abstraksi dan transendentalitas karena dia bebas dari materi. Artinya dia
berada bukan dalam materi, akan tetapi di alam pikiran dan mental.
Di
lain pihak, obyek aksidental dan transitif adalah bentuk obyek yang eksternal,
material, ataupun immaterial, yang secara eksistensial tidak bergantung pada,
dan terpisah dari, keadaan mentalitas kita dan tidak mempunyai kerentanan
terhadap derajat abstraksi. Dalam kasus obyek material, dia terikat dan
bergantung dengan materi, ruang, dan waktu. Di samping itu, dalam contoh obyek
nonmaterial, apabila obyek seperti itu memang ada, dia berdiri sendiri tanpa
hubungan pasif dengan materi, ruang, ataupun waktu. Obyek-obyek aksidental dan
transitif ini dapat dikomunikasikan hanya dengan menginisiasi
representasi-representasi ini, karena berada dalam tatanan konsepsi, mesti
dipandang sebagai obyek-obyek imanen yang sebenarnya, dan obyek-obyek yang
direpresentasikan oleh mereka –yang eksistensinya tetap berada dalam wujud-
harus dianggap sebagai obyek-obyek transitif dan aksidental.
Akhirnya,
orang harus memperhatikan bahwa untuk obyek-obyek esensial yang subyektif, yang
baru saja kita cirikan sebagai obyek-obyek yang bebas dari materi, persoalan
apakah obyek-obyek itu bebas, dan karenanya “abstrak” atau bebas secara
esensial, dan karenanya “bersifat bawaan”, bisa diputuskan dengan mudah.
Meskipun tidak secara prinsipil menjadi pokok persoalan kita, kita telah
menunjukkan bahwa “abstraksi” tidak boleh dianggap sebagai aksi intensional
lain yang ditambahkan kepada tindakan mengetahui, mempersepsi, atau menggagas.
Sebaliknya, dia tidak lain adalah tindak mengetahui itu sendiri, sedemikian
sehingga bahkan dalam bentuk primitifnya dia merepresentasikan bentuk murni
obyek material melalui pengalaman-indera. Karenanya, abstraksi tidak boleh
dipahami sebagai penjumlahan persepsi atas seluruh obyek material, kemudian
memisahkan bentuknya dari materi dengan tetap menyimpan bentuknya dalam
pikiran, dan membiarkan materi berada di dunia luar. Kekuatan subyektif
mengetahui tidak, dan tidak bisa, mendatangkan apapun dari luar dirinya.
Sebaliknya, kekuatan bawaan representasi bentuk murni benda-bendalah yang
membuat esensi sederhana pengetahuan kita menjadi mungkin. Atas dasar
pencerahan ini, semua jenis dan ragam pengetahuan kita memperoleh derajat
transendentalitas yang layak. Persepsi-indera yang empiris, misalnya, karena
merupakan representasi-indera dari bentuk murni sebuah obyek fisik, terhitung
sebagai bentuk primitif tak sempurna dari obyek transendental. Status
eksistensial suatu persepsi-indera tidak pernah dapat diklasifikasikan sebagai
obyek material, sebaliknya, dia merupakan entitas immaterial yang mewakili
bentuk murni obyek material. Dia mewakili bentuk obyek material tersebut tanpa
memiliki materi eksternalnya.[7]
Ilmu
huduri dibedakan dari ilmu husuli yang diupayakan melalui prosuder berpikir
rasional-logis. Pengetahuan dalam ilmu husuli bersifat representasional yakni
membutuhkan representasi objek yang diketahui didalam pikiran subjek yang
mengetahui. Contoh sederhana representasi-forma atau shurah batu itu dalam
pemikiran kita. Demikian halnya dengan konsep-konsep, seperti kecantikan, atau
sebagian besar konsep-konsep intelektual atau imajinatif, tentunya yang bukan
bersifat huduri, seperti akan kita singgung dibawah ini.
Bentuk-bentuk
ilmu huduri meliputi antara lain, pengetahuan tentang diri(“aku”) sendiri,
tentang kejiwaan diri kita sendiri, seperti ketakutan, cinta, dan sebagainya;
tentang daya-daya perseptif dan motor kita seperti ketika kita, misalnya,
merasakan nyeri disalah satu bagian tubuh kita, “pengetahuan”(tepatnya,
perasaan ayau pengalaman) kita tentang rasa nyeri itu terjadi tanpa ada terlebih dulu representasi mental (pikiran)
tentang rasa sakit itu; dan juga pengetahuan kita tentang representasinya dalam
pemikiran subjek yang mengetahui. Karena jika representasi itu butuh representasi,
maka yang akan terjadi adalah regresi tanpa ujung.
Demikian
juga halnya dengan kebenaran-kebenaran primer (primay truths). Tanpa
pengetahuan langsung tentang pengetahuan-pengetahuan seperti ini, lagi-lagi
akan terjadi regresi tanpa ujung. Suatu saat, kebenaran-kebenaran primer yang akan
menjadi landasan atau premis dalam prosedur berpikir logis pasti dibutuhkan.
Demikian
pula pengetahuan kita tentang diri kita (“aku”) sendiri. Ketika kita berpikir
tentang diri kita, maka pada saat itu sebenarnya pengetahuan tentang diri kita
sudah ada.
Pengetahuan
huduri yakni tepat pada saat ia diraih (secara eksperiensial) sepenuhnya bebas
dari katagori benar salah, karena sesungguhnya ia bersifat eksistensial, hadir
begitu saja sebagai pengalaman. Baru ketika dibayangkan (kembali) atau
diungkapkan ia terbuka terhadap kemungkinan salah. Sebab, dalam tahap ini dia
sudah berubah menjadi pengetahuan huduri, yang bersifat representasional.[8]
C.
METODOLOGI
ILMU HUDURI
Satu
hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam menjelaskan metodologi pengetahuan
dengan kehadiran (ilmu Hudhuri), adalah keterkaitannya dengan wilayah aplikasi
ilmu hudhuri, yaitu pengetahuan tentang diri (self knowledge), pengetahuan
manusia tentang Tuhan, pengetahuan Tuhan tentang Diri-Nya, Pengetahuan Tuhan
tentang Emanasi-Nya, dengan metode yang berbeda-beda.
Dalam
tasawuf dikenal tiga alat untuk berkomunikasi secara rohaniah, yaitu kalbu
untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai tuhan, dan sirr untuk
musyahadah yakni menyiksakan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Tuhan secara
yakin (Ensiklopedi Islam, 3: 89).
Ketiga unsur itu sebenarnya menyatu, kesatuan itu secara umum disebut hati.
Jika hati tersebut dikosongkan dari segala sesuatu yang buruk dan diisi dengan
dzikrullah, maka hati itu akan mencapai pengetahuan yang disebut dengan huduri.[9]
Ha’iri
mengikuti pendapat Suhrawardi tentang self knowledge dengan cara menyadari
bahwa dalam alur perjalanan pengetahuan, manusia diharuskan menyadiri
realitasnya sendiri, kemudian berlanjut kepada dunia eksternal. Ada dua cara
pembuktian bahwa seseorang benar-benar sadar akan dirinya; Pertama, dengan
mengetahui sesuatu selain dirinya; Kedua, dengan mengetahui diri sendiri secara
langsung melalui proses perenungan.
Sebagai
puncak ilmu hudhuri, Ha’iri menyebutkan “peniadaan mistik” atau dalam bahasa
tasawuf sering dikenal dengan fana’. Bagi Ha’iri pengalaman seperti ini sangat
dibutuhkan, karena dalam hidup ini, sesungguhnya realitas “keakuan” selalu
terkait dengan “kediaan” yang keduanya tidak boleh disalingtukarkan. Dalam
filsafat pencerahan, juga dikenal istilah “piramida eksistensi” dimana ada dua
dimensi yang tidak mungkin untuk dicampur adukkan, yaitu dimensi vertikal dan
horisontal. Karena itu, “peniadaan mistik” atau fana’ di atas adalah merupakan
pengunduran diri dari dimensi horisontal menuju kepada dimensi vertikal.
Suhrawardi
dalam bukunya Hikmat al-Isyraq beliau menjelaskan pandangannya tentang
bagaimana pengetahuan dalam perspektif ilmuminasi diperoleh?. Lebih lanjut
beliau menjelaskan bahwa untuk mendapatkannya harus melewati proses yang
terdiri dari tiga tangga. Tangga yang pertama adalah aktivitas yang melaluinya
filosof mempersiapkan dirinya sendiri bagi pengetahuan illuminasi, suatu jalan
hidup tetentu yang harus ia ikuti untuk sampai pada kesiapan menerima
“pengalaman”. Tahap kedua adalah tangga illuminasi. Tahap ketiga adalah tahap
konstruksi.
Awal
tahap pertama ditandai dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri
selama empat puluh hari, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri untuk
menerima pancaran-pancaran dari cahaya tuhan. Sedangkan tahap yang kedua adalah
tangga illuminasi yang merupakan cahaya Tuhan memasuki wujud manusia. Cahaya
ini yang akan mengantarkan kita untuk memperoleh pengetahuan yang tak terbatas
dan tak terikat, sedangkan tahapan yang ketiga adalah tahap pembangunan suatu
ilmu. Dalam tahap ketiga ini, filosof menggunakan analisis diskursif.
Pengalaman ditempatkan pada pengujian untuk dibuktikan. Ini dilakukan lewat
suatu analisis diskursif yang ditujukan untuk membuktikan pengalaman dan membangun
suatu sistem tempat pengalaman itu sendiri dapat didudukkan dan validitasnya
siap dideduksi, meskipun pengalaman itu sudah berakhir. Dari penjelasan ini
dapat kita simpulkan bahwa tahapa-tahapan yang harus ditempuh untuk mendapatkan
pengetahuan melalui kehadiran dengan cara; pempersiapkan diri untuk memperoleh
pengetahuan, menerimannya melalui proses isyraq, dan membangun suatu pandangan
sistematik mengenainya sehingga hasil-hasil yang didapat melalui proses isyraq
dapat di tuangkan kembali melalui kisah-kisah dan tulisan-tulisan.
Lebih
lanjut Suhrawardi menjelaskan bahwa jalan sejati bagi pencapaian pengetahuan
didasarkan pada penalaran diskursif dan intuisi intelektual, pada latiahan
formal terhadap pikiran dan juga pada pembersihan jiwa. Melalui pernyataan ini
beliau lebih lanjut membagi tingkatan orang yang berusaha mendapatkan
pengetahuan sesuai dengan usaha pengembangan daya-daya tersebut dalam dirinya
menjadi empat kategori:
1.
mereka yang mulai merasa haus atas pengetahuan lalu memasuki jalan pencarian
untuk memperolehnya.
2.
mereka yang telah memperoleh pengetahuan formal dan menyempurnakan filsafat
diskursif tapi masih asing dengan gnosis. Diantara mereka Suhrawardi menyebut
nama Ibnu Sina dan al-Farabi.
3.
mereka yang tidak peduli atas bentuk-bentuk diskursif pengetahuan sama sekali
tapi telah membersihkan jiwanya hingga mencapai intuisi intelektual dan
pencerahan batin (iluminasi), seperi Hallaj, Bastami dan Tustari
4.
Mereka yang menyempurnakan filsafat diskursif dan juga memperoleh iluminsai atau
gnosis.
Menurut
Suhrawardi, kategori-kategori ini terdapat hirarki wujud-wujud spiritual yang
samawi atau tak terindera, yang pada gilirannya digunakan oleh jiwa-jiwa
manusia untuk mendapat iluminasi dan akhirnya menyatu dengan-Nya. Dan proses
puncak dari pengalaman inilah yang sebenarnya disebut dengan ilmu hudhuri,
karena pada kenyataannya pengalaman tersebut tidak bisa diungkapkan dengan
definisi yang konseptual, ia hadir dan tidak terkatakan.[10]
D.
MANFAAT
ILMU HUDURI
Dari
penjelasan diatas sudah dapat kita pahami bahwa ilmu huduri bukanlah ilmu yang
sembarangan. Ilmu tersebut berasal dari Allah langsung tanpa harus melalui
proses apapun.
Orang
yang sudah mendapatkan ilmu huduri, orang iu telah mencapai tingkatan wali
Allah atau manusia Tuhan (lihat Abu Bakar Atjen, Pengantar Sejarah Sufi dan
Tasawuf, 1989:276). Ia biasanya memiliki kesaktian dan kekuatan gaib yang luar
biasa, seperti tidak tampak ketika bersama-sama orang banyak, dapat berjalan
diatas air, memegang api, menyembuhkan orang sakit, memperpanjang umur (lihat
Abdul Qadir Zailani, Koreksi Terhadap Ajaran tasawuf, 1996:205). Selanjutnya
dikatakaan ia mengerti hal ihwal semua makhluk, dapat mengetahui pikiran orang
lain sebelum orang itu mengucapkannya, dapat mengetahui seseorang akan mati.[11]
Manfaat
atau kegunaan ilmu huduri diantaranya sebagai berikut :[12]
§ Agar
dapat memahami ilmu dengan tepat.
§ Dapat
mengetahui tingkatan ilmu seseorang.
§ Mengetahui
karakter seseorang.
§ Dapat
mengambil ilmu orang lain yang diinginkan.
§ Dapat
membedakan antara jin, setan, malaikat dan dapat berdialog dengan mereka itu.
§ Dapat
mengetahui penyakit seseorang dan dapat menyembuhkannya.
§ Dapat
mengobati orang kena santet.
§ Dapat
mengetahui jodoh seseorang dan nasibnya.
§ Dapat
mengetahui keinginan seseorang tanpa ia mengatakannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
semua ini kita telah membicarakan persoalan-persoalan mendasar berikut:
analisis tentang pengetahuan secara logis menyiratkan bahwa karena obyeknya
tidak lain hanya bersifat imanen dan esensial, maka arti obyektivitas obyek
ini, seperti yang telah kita tunjukkan bersifat analitis dan terwujudkan dalam
tindakan mengetahui itu sendiri. Sebaliknya, obyek transitif, karena secara
keseluruhan bersifat aksidental, tidak menjadi bagian dari inti esensial
kesadaran dan pengetahuan manusia.
Obyek
transitif dan aksidental dengan demikian menjadi konstitutif hanya ketika yang
dipersoalkan adalah pengetahuan tentang obyek eksternal. Ini adalah spesies
pengetahuan tertentu yang dalam terninologi kita akan dinamakan “pengetahuan
dengan korespondensi” (ilmu hushuli) yang diperlawankan dengan “pengetahuan
dengan kehadiran” (ilmu hudhuri). Akan tetapi, bentuk primordial pengetahuan
adalah “pengetahuan dengan kehadiran”, dan terlebih lagi dalam teori
pengetahuan, obyek transitif eksternal sama sekali tidak berfungsi sebagai
bagian pembentuk konsep umum pengetahuan. Dari semua ini dengan sendirinya
dapat disimpulkan bahwa gagasan prospektif kita tentang “pengetahuan dengan
kehadiran”, sebagaimana dicirikan oleh swa-obyektivitas, benar-benar dan dengan
sendirinya dijelaskan oleh bentuk dasar pengetahuan, tanpa mempunyai obyek
fisik eksternal yang berkorespondensi dengan obyek yang hadir secara esensial.
Akan tetapi, “pengetahuan dengan kehadiran” secara harfiah termasuk, bahkan
merupakan contoh utama, dalam kategori pengetahuan seperti itu, sebab dia
bersifat neotic dan obyektif dalam hakikatnya dan memenuhi semua persyaratan
esensial konsepsi pengetahuan, mekipun tidak mempunyai obyek transitif yang
aksidental. Dengan demikian, tidak terdapat alasan untuk mengingkari dan menolak
pengertian obyektivitas jenis pengetahuan ini semata-mata karena dia tidak
mempunyai obyek luar dan eksternal. Demikian pula, tidak ada alasan untuk
diperlukannya semacam transubyektivitas dalam kesadaran mistik yang, seperti
akan kita lihat, merupakan sejenis “pengetahuan dengan kehadiran”. Dinyatakan
secara ringkas, ilmu hudhuri secara harfiah berarti pengetahuan dengan
kehadiran karena dia ditandai oleh keadaan neotic dan mempunyai obyek imanen
dan esenssial yang menjadikannya pengetahuan swaobyek (self object-knowledge),
yang memadai untuk definisi pengetahuan seperti itu tanpa membutuhkan obyek
transitif dan aksidental yang berkoresponden, selain obyek yang imanen dan
esensial.
DAFTAR
PUSTAKA
Tafsir Ahmad, 2012, FILSAFAT ILMU, Bandung, Rosda
Bagir Haidar, 2006, BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM,
Bandung, Mizan
Ha’iri Yazdi Mehdi, 1996, ILMU HUDURI, Bandung, Mizan
[1] Aji
Pangestu, “Ilmu Huduri”, diakses dari
http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/ilmu-hudhuri.html, pada tanggal
15 September 2014 pukul 16.20
[2] Ahmad
Tafsir, FILSAFAT ILMU, Rosda, Bandung, 2012, hal 154-155
[3] Mulyadhi Kartanegara, “Ilmu Hushuli vs Ilmu
Hudhuri”, diakses dari http://on.fb.me/1kbzmy8,
pada tanggal 15 September 2014 pukul 10.47
[4] Mulyadhi
Kartanegara, “Ilmu Hushuli vs Ilmu Hudhuri”, diakses dari http://on.fb.me/1bWvFsT
pada tanggal 15 September 2014 pukul 10.50
[5] Mulyadhi Kartanegara, “Ilmu Hushuli vs Ilmu
Hudhuri”, diakses dari http://on.fb.me/1cyaJ81 pada tanggal 15 September 2014
pukul 10.55
[6] Mehdi
Ha’iri Yazdi, ILMU HUDURI, Mizan, Bandung, 1996, hal 54-57
[7] Ibid,
hal 71-73
[8] Haidar
Bagir, BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM, Mizan, Bandung, 2006, hal 186-188
[9] Ahmad
Tafsir, FILSAFAT ILMU, Rosda, Bandung, 2012, hal 153
[10] Aji
Pangestu, “Ilmu Huduri”, diakses dari
http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/ilmu-hudhuri.html, pada tanggal
15 September 2014 pukul 16.20
[11] Ahmad
Tafsir, FILSAFAT ILMU, Rosda, Bandung, 2012, hal 154
[12] Ibid,
hal 158