BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil
diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf
falsafi Ibnu ‘arabi dan ‘Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah
Nabi Muhammad SAW.
Khalayak
biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai
aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok
Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat
dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya
dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau.
Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis,
menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf
"wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh
"perilaku" Nabi Muhammad.
Bagaimana
konsep insan kamil dalam ilmu tasawuf yang lebih spesifik, akan dijelaskan pada
makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah yang diajukan adalah
sebagai berikut:
1. Apa
pengertian insan kamil?
2. Bagaimana
konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf?
3. Bagaimana
ciri-ciri insan kamil?
4. Bagaimana
proses pembentukan insan kamil?
5. Bagaimana
insan kamil dalam Al-qur’an?
6. Bagaimana
kedudukan insan kamil?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui arti dari insan kamil.
2. Mengetahui
konsep insan kamil menurut para tokoh
tasawuf.
3. Mengetahui
ciri-ciri insan kamil.
4. Mengetahui
proses pembentukan insan kamil.
5. Mengetahui
insan kamil dalam Al-qur’an.
6. Mengetahui
kedudukan insan kamil.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Insan Kamil
Insan
kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara
harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan
demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Selanjutnya
Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara
khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam
bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih
sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof
klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang
secara langsung mengarah pada hakikat manusia.
Adapun
kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk
menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui
terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat
yang baik lainnya.
B.
Insan
Kamil Menurut Para Tokoh Tasawuf
Beberapa
tokoh tasawuf menjelaskan tentang konsep insan kamil dalam ajarannya. Yaitu:
1. Insan
Kamil Menurut Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
Insan
kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya.
Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna
dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara
utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah
mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan
Tuhan, yang disebut ma’rifat.[1]
Kesempurnaan
insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara
sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat
Muhammad merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna.[2]
Jadi,
dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang
paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad
raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam
semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
2. Insan
Kamil Menurut ‘Abd Al-Karim Al-Jilli
Al-Jili
merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai
sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata
dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga
sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di
jagad raya ini.
Nur
Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping
terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam
AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan
tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan
mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a. Insan
kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna.
Dalam
pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang
dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai
sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang
patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat
sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b. Insan
kamil terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna
itu mencakup Asma’ sifat dan hakikatNya.
Bagi
al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani
dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia
melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi
tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam
sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Al-Jili
membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
1) Tingkat
permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat
merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2) Tingkat
menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit
kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq
ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil
pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian
dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3) Tingkat
terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat
merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Dengan demikian pada insan kamil sering
terjadi hal-hal yang luar biasa.[3]
C. Ciri - ciri Insan Kamil
Menurut
Murthadho Muttari manusia sempurna (Insan Kamil) yakni mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Jasmani
yang sehat serta kuat dan berketerampilan.
Orang
islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat, terutama berhubungan dengan
penyiaran dan pembelaan serta penegakkan agama islam. Dalam surah al-Anfal :
60, disebutkan agar orang islam mempersiapkan kekuatan dan pasukan berkuda
untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan
pula dengan menguasai keterampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk
kehidupan.
2. Cerdas
serta pandai.
Cerdas
ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat,
sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan (banyak memiliki
informasi). Didalam surah az-Zumar : 9 disebutkan sama antara orang yang
mengetahui dan orang yang tidak mengetahui, sesungguhnya hanya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.
3. Ruhani
yang berkualitas tinggi.
Kalbu
yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah,
atau kalbu yang taqwa kepada Allah. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnya
shalat, ia shalat dengan khusuk, bila mengingat Allah kulit dan hatinya
tenang bila disebut nama Allah bergetar hatinya bila dibacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan menangis.[4]
Sifat-sifatnya
manusia yang sempurna terdiri dari : Keimanan, Ketaqwaan, Keadaban, Keilmuan,
Kemahiran, Ketertiban, Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran, Persaudaraan,
Persepakatan dalam hidup, Perpaduan umah. Untuk cara-cara mencapainya ialah
dengan car istigfar kepada Allah SWT, ikhlas, sabar, cermat, optimis serta Syukur.
Adapun
beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri
Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :[5]
a) Sifat
amanah (dapat dipercaya)
Amanah
/ dapat dipercaya maksudnya ialah dapat memegang apa yang dipercayakan
seseorang kepadanya. Baik itu sesuatu yang berharga maupun sesuatu yang kita
anggap kurang berharga.
b) Sifat
fathanah (cerdas)
Seseorang
yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia
dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya. Cerdas ialah sifat yang dapat
membawa seseorang dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya
untuk menuju yang lebih baik.
c) Sifat
siddiq (jujur)
Jujur
adalah sebuah kata yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi
sayangnya penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Sifat jujur
sering sekali kita temui di dalam kehidupan sehari – hari tapi tidak ada sifat
jujur yang murni maksudnya ialah, sifat jujur tersebut mempunyai tujuan lain
seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
d) Sifat
Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya
tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain
dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu
yang benar dan sesuai dengan kenyataan.
D.
Proses Pembentukan Insan Kamil
Proses
atau tahapan pembentukan insan kamil dibedakan menjadi beberapa bagian antara
lain :
1. Proses
Pembentukan Kepribadian.
Dapat
dipahami bahwa insan kamil merupakan manusia yang mempunyai kepribadian muslim
yang diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas dari
keseluruhan tingkah laku baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara
lahiriyah maupun sikap batinnya. Tingkah laku lahiriyah seperti kata-kata,
berjalan, makan, minum, berhadapan dengan teman, tamu, orang tua, guru, teman
sejawat, anak famili dan lain-lainnya.
Sedangkan
sikap batin seperti penyabar, ikhlas, tidak dengki dan sikap terpuji lainnya
yang timbul dari dorongan batin, yakni terwujudnya perilaku mulia sesuai dengan
tuntunan Allah SWT, yang dalam istilah lain disebut akhlak mulia yang ditempuh
melalui proses pendidikan Islam. Sabda Rasululah SAW yang artinya: “sesungguhnya
aku diutus adalah untuk membetuk akhlak mulia” Dalam kaitan dengan hal
itu dalam satu hadits beliau pernah bersabda : “Orang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”.
2. Pembentukan
Kepribadian Muslim.
Kepribadian
muslim dapat dilihat dari kepribadian orang perorang (individu) dan kepribadian
dalam kelompok masyarakat (ummah). Kepribadian individu meliputi ciri khas
seseorang dalam sikap dan tingkahlaku, serta kemampuan intelektual yang
dimilikinya.
a) Pembentukan
Kepribadian Muslim sebagai Individu
Proses
pembentukan kepribadian muslim sebagai individu dapat dilakukan melalui tiga
macam pendidikan.
1) Pranata
Education (Tarbiyah Golb Al-Wiladah)
Proses
pendidikan jenis ini dilakukan secara tidak langsung. Proses ini dimula disaat
pemilihan calon suami atau istri dari kalangan yang baik dan berakhlak. Sabda
Rasulullah SAW : “ Pilihlah tempat yang sesuai untuk benih (mani) mu karena
keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan sikap prilaku orang tua yang islam”.[6]
2) Education
by Another (Tarbiyah Ma’aghoirih).
Proses
pendidikan ini dilakukan secara langsung oleh orang lain (orang tua di rumah
tangga, guru di sekolah dan pemimpin di dalam masyarakat dan para ulama).
Manusia sewaktu dilahirkan tidak mengetahui sesuatu tentang apa yang ada dalam
dirinya dan diluar dirinya. Firman Allah SWT yang artinya : “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui apapun dan Ia
menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati ” ( Q.S.
An-Nahl : 78 )
3) Self
Education (Tarbiyah Al-Nafs)
Proses
ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang lain seperti
membaca buku-buku, majalah, Koran dan sebagainya melalui penelitian untuk
menemukan hakikat segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Menurut Muzayyin,
Self Education timbul karena dorongan dari naluri kemanusiaan yang ingin
mengetahui. Ia merupakan kecenderungan anugrah Tuhan. Dalam ajaran islam yang
menyebabkan dorongan tersebut adalah hidayah. Firman Allah SWT yang artinya
: “Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap
makhluk bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thoha:50)
b) Pembentukan
Kepribadian Muslim sebagai Ummah.
Komunitas
muslim ini disebut ummah. Abdullah al-Darraz membagi kajian pembentukan itu
menjadi empat tahap, sebagaimana dikutip sebagai berikut :
1) Pembentukan
nilai-nilai Islam dalam keluarga
Bentuk
penerapannya adalah dengan cara melaksanakan pendidikan akhlak di lingkungan
rumah tangga, langkah-langkah yang di tempuh adalah:
·
Memberikan bimbingan berbuat baik kepada
kedua orang tua
·
Memelihara anak dengan kasih saying
·
Memberikan tuntunan akhlak kepada
anggota keluarga
·
Membiasakan untuk menghargai peraturan
dalam rumah tangga
·
Membiasakan untuk memenuhi hak dan
kewajiban antara kerabat
2) Pembentukan
nilai-nilai islam dalam hubunga social
Kegiatan
pembentukan hubungan sosial mencangkup sebagai berikut:
·
Melatih diri untuk tidak melakukan
perbuatan keji dan tercela
·
Mempererat hubungan kerjasama
·
Menggalakkan perbuatan terpuji dan
memberi manfaat dalam kehidupan bermasyarakat seperti memaafkan, dan menepati
janji
·
Membina hubungan menurut tata tertib seperti
berlaku sopan, meminta izin masuk rumah orang lain.
·
Perbuatan nilai-nilai islam dalam
berkehidupan sosial bertujuan untuk menjaga dan memelihara keharmonisan
hubungan antar sesama anggota masyarakat.
E.
Konsep
Insan Kamil menurut Al-Qur’an
Nabi
Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di
dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah”.
Allah
SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut
semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah
SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia
paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya
selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan
akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS.
Al-Qolam:4)
Nur
atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah
Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi
penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia
dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman
Allah SWT
“Sesungguhnya
telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan
kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu
dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
F.
Kedudukan Insan Kamil
Insan
kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan manusia
lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang
jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan
kesempurnaan itulah Tuhan menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya. Yang
dimaksud dengan khalifah bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam
suatu wilayah negara (al-khilāfah az-zāhiriyyah) tetapi lebih
dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilāfah al-ma’nawiyyah) dengan
manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat
padanya.
Di sisi lain, insan kamil dipandang
sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan
pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār),ilmu ladunni atau pengetahuan gaib.
Jika seseorang telah dapat mengosongkanaql dan qalbnya
dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian
berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan
kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan qalbnya merangkaikan
berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Tuhan hadir
membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu,
dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah
dimasukinya.[7] Pengetahuan
esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah seseorang
menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
Insan
kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb(poros).
Dalam struktur hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan
tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman.[8]
Dari
kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadahtajalli Tuhan
yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb).
Sebagai wadah tajalli Tuhan ia merupakan sebab tercipta dan
lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di
muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam
kedudukannya sebagai quthb, ia adalah sumber pengetahuan esoterik yang tidak
pernah kering.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Insan
kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara
harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan
demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Menurut
Ibnu ‘Arabi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang
paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad
raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam
semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
Al-Jili
merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai
sebuah contoh manusia ideal.
Dalam
Al-Qur’an menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah figur insan kamil yang patut
dicontoh oleh umat manusia.
Insan
kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai
khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb).
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Yunasril, 1997Manusia Citra Ilahi, Jakarta, Paramadina
Asmaran, 2002,
Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Asy’arie,
2002, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta:
LESFI
Muthari
Murtalha, 2003, Manusia Sempurna, Jakarta, Lentera
Syukur,
M. Amin, dan Usman, Fathimah, 2005, Insan Kamil, Semarang, CV.
Bima Sejati
Supiana
dan Karman, M. Materi Pendidikan Agama Islam.2009.Bandung, PT.
Remaja Rosda Karya
[1] Yunasril
Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 60
[2]
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2002) hal. 354
[3] Yunasril
Ali, op.cit., hal. 56.
[4] Muthari
Murtalha, Manusia Sempurna, ( Lentera,
Jakarta, 2003 ), hal. 23.
[5] Syukur
Amin M. dan Usman Fathimah , Insan Kamil (Paket Pelatihan Seni Menata Hati
(SMH) LEMBKOTA/Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf), ( CV. Bima Sejati,
Semarang, 2005 ), hal. 71.
[6] Supiana
dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (PT. Remaja Rosda
Karya, Bandung, 2009), hal.70.
[7] Musa
Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta:
LESFI, 2002), hal. 74.
[8] Yunasril
Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.
93.
0 comments:
Post a Comment