Suatu saat, seorang guru merekomendasikan kepada muridnya untuk berguru
kepada seorang sufi ternama. Setelah melewati perjalanan yang amat panjang,
sang Murid akhirnya bisa berjumpa dengan guru yang dimaksud.
Betapa kagetnya setelah ia mengatahui rumahnya
yang mewah bak istana raja. Ia bertanya kepada para tetangganya, apakah betul
bahwa istana itu tempat tinggal sang Sufi sebagaimana yang direkomendasikan
oleh gurunya. Semuanya menjawab “Ya”.
Lebih kaget lagi setelah si
pemilik istana itu datang dengan pakaian yang mewah dan kendaraan yang luar
biasa bagusnya. Sang murid bertanya-tanya dalam hatinya, apakah benar yang
dimaksudkan oleh gurunya. Akan tetapi karena telanjur sudah menempuh perjalanan
jauh yang sangat melelahkan, iapun menjumpai Sufi yang kaya raya tersebut.
Setelah menyampaikan salam dari gurunya, ia pun menyampaikan maksud dan
tujuannya.
Betapa kagetnya sang murid setelah mendengar kata-kata yang keluar dari lisan Sufi yang kaya raya itu. Ia berkata, “Tolong sampaikan salam saya kembali kepada gurumu. Aku berpesan agar dia tidak selalu sibuk dengan urusan dunia.”
Bak disambar petir di siang
bolong. Bagaimana mungkin orang kaya raya itu memberi nasehat kepada gurunya
yang jauh dari kehidupan dunia agar tidak sibuk dengan urusan dunia. Bukankah
yang lebih sibuk mengurus dunia adalah orang kaya tersebut? Ia pamit pulang,
tidak jadi berguru kepada orang yang direkomendasikan oleh gurunya.
Sesampai di padepokan gurunya, ia melaporkan semua kejadian yang dialaminya, termasuk nasihat orang kaya itu kepada gurunya. Sang murid lebih tidak mengerti lagi setelah sang guru yang sangat dihormati itu ternyata menangis dan membenarkan nasihat orang kaya raya tersebut.
Sang guru akhirnya menjelaskan bahwa orang kaya raya yang dijumpai oleh muridnya itu memang memiliki istana yang mewah, kendaraan yang bagus, dan selalu berpakaian indah. Tanah perkebunannya luas serta memiliki pabrik yang mempekerjakan banyak karyawan. Namun demikian, harta yang melimpah itu tidak menyebabkannya lalai dan lupa kepada Allah Swt.
Sesampai di padepokan gurunya, ia melaporkan semua kejadian yang dialaminya, termasuk nasihat orang kaya itu kepada gurunya. Sang murid lebih tidak mengerti lagi setelah sang guru yang sangat dihormati itu ternyata menangis dan membenarkan nasihat orang kaya raya tersebut.
Sang guru akhirnya menjelaskan bahwa orang kaya raya yang dijumpai oleh muridnya itu memang memiliki istana yang mewah, kendaraan yang bagus, dan selalu berpakaian indah. Tanah perkebunannya luas serta memiliki pabrik yang mempekerjakan banyak karyawan. Namun demikian, harta yang melimpah itu tidak menyebabkannya lalai dan lupa kepada Allah Swt.
Hartanya tidak mengganggu
dzikirnya kepada Allah Swt. Ia tidak sombong karena hartanya dan jika
sewaktu-waktu hartanya diambil oleh pemiliknya, Allah Swt, ia pun tidak merasa
terhina karenanya. Ia memandang harta biasa-biasa saja.
Sementara saya, kata sang Guru, biar tidak punya
harta yang melimpah, tapi hari-hari masih disibukkan untuk memikirkan harta.
Bahkan bisa jadi saya, kata sang guru, lebih sibuk memikirkan urusan harta dari
pada si sufi yang kaya raya tersebut.
Kepada orang yang diberi karunia rizki yang
lebih oleh Allah swt, hendaknya mereka dapat mengelola hartanya sebagai sarana
untuk mendapatkan harta kekayaan yang lebih besar kelak di akhirat. Tak perlu
bersikap kontra produktif dengan meninggalkan kehidupan dunia. Janganlah
mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah Swt.
Adapun terhadap orang-orang yang belum
mendapatkan rizki lebih dari Allah Swt, hendaklah tetap menjalankan ketaatan
kepada Allah Swt dengan tulus dan ikhlas. Nikmati kemiskinan dengan lebih
banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Akhirnya, tidak ada halangan bagi orang kaya
untuk menjadi shalih dan dekat dengan Allah swt. Demikian juga tidak ada alasan
bagi orang miskin untuk tidak mendekat kepada Allah karena kemiskinannya. Orang
kaya dan orang miskin mempunyai kesempatan yang sama untuk mendekati Allah Swt
0 comments:
Post a Comment